Afterimage

Penulis N
Chapter #4

4

Wanita itu berdiri di pintu, wajahnya samar dalam bayang-bayang. Aku merasa sebuah ketegangan yang tak terucapkan di udara. Setiap detik berlalu terasa lebih berat, lebih penuh dengan ketidakpastian. Aku tidak tahu siapa dia atau apa yang sebenarnya terjadi, tapi ada satu hal yang aku rasakan dengan jelas—dia tahu lebih banyak daripada yang aku tahu.

"Siapa kamu?" aku bertanya lagi, mencoba menenangkan diriku meskipun suaraku masih terdengar agak gemetar. "Dan apa yang kamu maksud dengan 'apa yang kamu lupakan'?"

Wanita itu tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang dalam, seolah-olah dia sedang mencoba melihat ke dalam jiwaku, menggali sesuatu yang tersembunyi di dalam diriku yang bahkan aku sendiri belum sepenuhnya menyadari keberadaannya. Setelah beberapa saat, dia menghela napas, kemudian melangkah perlahan mendekat.

"Aku tahu kamu merasa bingung," katanya, suara lembut namun penuh kepercayaan diri. "Tapi untuk bisa mengingat, kamu harus menghadapi bayangan-bayangan di masa lalu, hal-hal yang kamu pilih untuk lupakan. Terkadang, melupakan bukanlah cara terbaik untuk bergerak maju."

Aku hanya bisa terdiam mendengarkan kata-katanya, meskipun aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata itu. Seperti dia sedang berbicara bukan hanya tentang Mika, tetapi tentang sesuatu yang lebih pribadi, yang mungkin bahkan lebih dekat dari yang aku duga.

"Kenapa aku harus mengingat?" tanyaku, merasa ada beban yang menekan dadaku. "Kenapa aku tidak bisa meninggalkan semuanya begitu saja?"

Wanita itu tersenyum tipis, namun ekspresinya tetap penuh makna. "Karena, kamu tidak akan pernah bisa benar-benar melangkah maju jika kamu terus berlari dari apa yang telah terjadi. Menghadapi kenyataan, walaupun itu menyakitkan, adalah bagian dari proses penyembuhan."

Aku menggigit bibir bawahku, mencoba mencerna kata-katanya. Ada sesuatu yang menakutkan dalam kata-kata itu. Kenapa semuanya terasa seperti ada di luar kendali? Kenapa sepertinya setiap langkah yang aku ambil justru membawaku lebih dalam ke dalam kegelapan?

Wanita itu melanjutkan, "Kamu sudah berada di sini terlalu lama, mencari jawaban yang tidak bisa kamu temukan tanpa melihat kembali ke tempat yang kamu tinggalkan."

Aku merasakan ketakutan yang perlahan merayap ke dalam hatiku. Seolah ada sesuatu yang mengancam, sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kehilangan Mika. Sesuatu yang mengarah pada diriku sendiri—identitasku yang hilang, kenangan yang terkubur, dan kebenaran yang tak ingin aku hadapi.

"Di mana Mika?" tanyaku, mengalihkan perhatian dari perasaan takut itu. Aku tidak bisa membiarkan ketakutanku menguasai. Aku harus menemukan Mika, harus memecahkan teka-teki ini, tak peduli seberapa besar kegelapan yang harus aku hadapi.

Wanita itu hanya menatapku, seolah dia tahu lebih banyak dari yang aku bisa pahami. "Mika adalah bagian dari puzzle ini, tapi kamu harus mengingat dulu siapa dirimu sebelum bisa menemukan dia. Tanpa itu, kamu hanya akan terus berputar dalam lingkaran yang sama."

"Apa maksudmu?" aku bertanya, kini frustasi. "Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi dengan Mika. Kenapa semua ini harus rumit?"

Wanita itu tidak menjawab langsung, tapi dia menunjuk ke meja di depan kami, ke buku yang terbuka di sana. "Buka buku itu, dan kamu akan menemukan bagian dari dirimu yang hilang."

Aku menatap buku itu, merasa seperti ada kekuatan yang tak bisa aku kontrol. Sesuatu yang memanggilku untuk membuka halaman-halaman itu dan menghadapi kebenaran yang selama ini aku hindari. Aku merasa seperti terjebak, terikat dalam pusaran yang tidak bisa aku hentikan.

Aku menghela napas dalam-dalam, kemudian melangkah ke meja dan membuka buku itu lagi. Halaman-halaman itu masih berisi tulisan-tulisan yang tampaknya sangat tua dan pudar. Namun, saat aku mulai membaca, ada sesuatu yang berubah. Kata-kata itu mulai membentuk gambar dalam pikiranku, gambar yang semakin jelas seiring dengan setiap kalimat yang aku baca.

Gambar itu adalah aku—atau lebih tepatnya, aku yang lebih muda. Seperti sebuah kenangan yang terlupakan, sebuah kehidupan yang tidak lagi ada. Aku melihat diriku di sebuah tempat yang sangat familiar, sebuah rumah yang terasa seperti rumahku, namun aku tahu itu sudah tidak ada lagi. Ada seseorang bersamaku—Mika. Kami tertawa, berbicara, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan tidak utuh, ada sebuah jarak yang tak bisa dijelaskan.

Aku berhenti membaca, merasa seperti dunia berputar di sekitarku. Apa yang baru saja aku lihat? Itu kenangan—tapi kenapa aku tidak ingat itu? Kenapa aku tidak tahu bahwa aku pernah melalui itu?

Wanita itu berdiri di belakangku, matanya penuh dengan pengetahuan yang aku rasakan belum siap untuk kuterima. "Itulah bagian pertama dari apa yang kamu lupakan," katanya pelan. "Sekarang kamu tahu, saatnya untuk melihat ke dalam diri dan menemukan kebenaran yang lebih besar."

Aku terdiam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti memukul jantungku dengan kekuatan yang tak bisa diungkapkan. Aku harus menghadapinya, harus menemukan apa yang hilang, meskipun itu berarti harus menggali kenangan yang tak ingin aku temui.

Mika, kenapa semua ini berhubungan dengan Mika? Dan siapa aku sebenarnya dalam cerita ini?

Aku menutup buku itu dengan tangan yang gemetar, merasa seperti dunia di sekitarku runtuh perlahan. Kenangan yang baru saja aku lihat terasa seperti pecahan kaca yang tersebar di dalam kepalaku—tajam, menyesakkan, dan sulit untuk disatukan kembali. Aku tidak tahu harus merasa apa. Apakah ini jawaban yang kucari? Apakah aku siap untuk menghadapi masa lalu yang telah lama kubiarkan hilang?

Wanita itu berdiri di sampingku, matanya menatapku dengan tatapan yang penuh makna. Dia tidak berbicara, seolah memberi ruang bagi pikiranku untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata yang telah kami ucapkan.

"Apa yang terjadi setelah itu?" Aku akhirnya bertanya, suara aku terdengar lebih lemah dari yang aku harapkan. "Kenapa aku tidak ingat itu? Kenapa aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang telah hilang?"

Wanita itu menghela napas panjang, kemudian duduk di salah satu kursi di dekat meja. "Karena terkadang, untuk bertahan, kita harus melupakan bagian-bagian dari diri kita yang terlalu menyakitkan," jawabnya. "Namun, melupakan juga berarti kehilangan. Kamu mungkin merasa seolah-olah bisa melanjutkan hidup tanpa itu, tetapi kenangan itu selalu ada, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali."

Aku menatap ke arah lantai, berusaha mencerna kata-katanya. Ada kebenaran dalam apa yang dia katakan, namun itu juga menyakitkan. Kenapa harus melupakan? Kenapa perasaan itu begitu sulit untuk ditinggalkan?

"Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyaku, suara penuh kebingungan. "Aku sudah melihat sebagian dari masa laluku, tetapi itu belum cukup. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku harus menemukan Mika."

Lihat selengkapnya