Pagi menjelang, namun suasana di dalam diriku masih terasa gelap. Rian sudah meninggalkan tempat itu, tetapi kata-katanya tetap bergema dalam pikiranku. Aku merasa terombang-ambing antara dua dunia yang berbeda—dunia masa lalu yang penuh kenangan yang tak bisa aku raih, dan dunia sekarang yang penuh kebingungan dan kegelapan yang mengintai.
Aku berjalan tanpa tujuan, melangkah menyusuri jalan yang familiar namun terasa asing. Setiap langkahku seolah tidak memiliki arti, dan semua orang yang kutemui hanya tampak sebagai bayang-bayang yang lewat begitu saja. Tidak ada rasa keterikatan. Tidak ada rasa kebahagiaan.
Di sepanjang jalan, aku melihat beberapa orang yang sedang sibuk dengan hidup mereka—berbicara, tertawa, atau bahkan hanya duduk di kafe sambil menikmati secangkir kopi. Mereka tampak seperti orang-orang biasa yang menjalani rutinitas, sementara aku... aku merasa seperti seorang asing di tengah mereka.
Aku berhenti sejenak di sebuah taman, duduk di bangku kosong, dan mengamati dunia yang berlalu di sekitarku. Entah kenapa, aku merasa semakin terisolasi, semakin terasing dari dunia ini. Seolah ada sesuatu yang hilang, dan aku tidak tahu bagaimana cara menemukannya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Mika?" gumamku pada diri sendiri. "Kenapa aku merasa seolah semua ini hanya mimpi yang terus berlanjut?"
Aku mengalihkan pandanganku ke langit, di mana awan-awan tampak bergerak perlahan. Ada rasa tidak menentu yang menghantuiku, seolah-olah jawabannya sangat dekat, namun aku tidak bisa menggapainya.
Setelah beberapa saat, aku merasa perlu untuk kembali ke rumah. Ada sesuatu di sana yang harus aku selesaikan. Meskipun aku tidak tahu pasti apa itu, entah kenapa, hatiku mengatakan bahwa rumah adalah tempat yang harus kutuju.
Saat aku berjalan kembali, langkahku terasa semakin berat, seolah-olah ada yang menghalangi, seperti bayang-bayang masa lalu yang terus mengikutiku. Aku tahu, aku tidak bisa terus menghindari kenyataan. Semua ini—perasaan yang hilang, kenangan yang kabur—mesti dihadapi.
Di depan rumah, aku berhenti. Memandang pintu itu, yang kini terasa semakin jauh dan asing. Rumah ini, yang dulunya menjadi tempat perlindungan, kini tampak seperti labirin yang membingungkan. Tapi aku tahu, tidak ada jalan keluar kecuali kembali ke dalamnya.
Dengan ragu, aku membuka pintu itu dan melangkah masuk. Suasana di dalam rumah tetap sama—sunyi dan sepi, seperti biasanya. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah perasaan aneh merayapi kulitku, seolah ada yang mengamatiku, mengawasi setiap gerak-gerikku.
Aku berjalan pelan ke ruang tamu, di mana meja kayu tua itu berdiri, masih dengan foto-foto lama yang tersebar di atasnya. Aku menghampiri meja itu, dan tangan kiriku terulur untuk menyentuh foto-foto tersebut. Ada foto Mika di sana—senyumnya yang dulu cerah, matanya yang penuh semangat. Tapi sekarang, foto itu tampak begitu jauh, begitu asing.
Kenapa semuanya terasa begitu rumit? Kenapa kenangan yang seharusnya manis menjadi begitu pahit untuk dikenang?
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di belakangku. Aku menoleh dengan cepat, dan mataku bertemu dengan sosok yang berdiri di pintu ruang tamu—Mika. Dia berdiri di sana, memandangiku dengan tatapan yang kosong, dan senyum yang tidak lagi sama.
"Apa yang kau lakukan di sini?" suaraku serak, hampir tak terdengar.
Mika tidak menjawab, hanya berdiri diam di sana, seperti patung yang tak bergerak. Namun, matanya—matanya yang dulu penuh kehidupan—sekarang tampak kosong, seperti ada sesuatu yang hilang. Seperti dia juga tidak mengenali siapa aku lagi.
Aku merasa seolah dunia ini berputar terlalu cepat. Semua perasaan yang sebelumnya tertahan kini meluap, membanjiri hatiku dengan pertanyaan tanpa jawab.
"Mika, siapa kau?" aku bertanya, kali ini lebih keras.
Namun, yang kudapatkan hanyalah keheningan. Tidak ada jawaban, tidak ada penjelasan. Hanya kekosongan yang semakin dalam.
Aku merasa seperti terjebak di antara dunia yang sudah hilang dan dunia yang masih misterius. Kenapa aku tidak bisa ingat hal-hal penting? Kenapa kenangan tentang Mika terasa seperti mimpi yang sangat jauh? Aku ingin tahu apa yang terjadi, tapi aku juga takut akan apa yang akan kutemui.
Aku mundur beberapa langkah, menatap Mika yang masih berdiri di sana. Matanya yang kosong, bibirnya yang tidak lagi tersenyum. Aku ingin bertanya lebih banyak, tetapi kata-kataku tersangkut di tenggorokan. Rasanya tidak ada yang bisa dijelaskan. Tidak ada jalan keluar dari kebingunganku ini.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Mika?" bisikku, meskipun aku tahu dia tidak akan menjawab.
Dia hanya berdiri diam, tak bergerak. Dan aku, dalam kebingunganku yang mendalam, hanya bisa menatapnya, terjebak dalam labirin perasaan yang semakin rumit.
Aku berdiri mematung, masih terperangah oleh sosok yang berdiri di depanku. Mika. Hanya dia. Namun, dia bukanlah Mika yang aku kenal. Meskipun wajahnya tampak sama, dengan rambut hitam panjang yang terurai dan pakaian yang terlihat seperti yang biasa dia pakai, ada sesuatu yang sangat berbeda. Matanya yang dulu penuh semangat, kini kosong. Senyum yang selalu menghiasi wajahnya kini hilang, digantikan oleh ekspresi yang tidak bisa kubaca.
Ada jarak yang sangat jauh antara aku dan dia, bukan hanya jarak fisik, tetapi juga jarak emosional yang terasa seperti tembok yang menghalangi komunikasi kami.
"Mika..." suaraku serak, berusaha mengeluarkan kata-kata yang terasa begitu sulit. "Apa yang terjadi? Kenapa kau tidak menjawabku?"
Mika tetap diam. Tidak ada respon, hanya tatapan kosong yang semakin membuatku cemas. Setiap detik yang berlalu seolah semakin menambah berat beban yang mengendap di hatiku. Aku ingin dia berbicara, ingin mendengar suaranya, tetapi entah kenapa, sepertinya dia juga terperangkap dalam kebisuan ini.
Aku mundur beberapa langkah, menjauh darinya, seolah aku bisa melarikan diri dari kenyataan yang semakin tidak bisa kuterima. "Mika, apa yang terjadi padamu? Kau tidak bisa begitu saja menghilang seperti itu dan tiba-tiba kembali dengan kondisi seperti ini."
Aku menghela napas panjang, mencoba mengendalikan pikiranku yang kacau. Rasa takut mulai menyelimuti diriku, membanjiri setiap sudut pikiranku. Apa yang terjadi dengan Mika? Apa yang sebenarnya terjadi di antara kami? Kenapa semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tidak bisa aku hentikan?
Tiba-tiba, suara lembut dan serak datang dari belakangku. "Nara..."
Aku menoleh cepat, dan seketika aku merasa seluruh tubuhku gemetar. Itu suara Mika, tapi sangat berbeda. Suaranya tidak lagi keras dan penuh percaya diri seperti dulu, melainkan penuh keraguan, seperti seseorang yang sedang berjuang untuk mengungkapkan sesuatu yang sangat sulit.
"Kenapa kau di sini?" tanyaku, suaraku lebih tenang, namun hati ini bergejolak.
Mika memandangku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik matanya, seolah dia ingin mengatakannya, namun kata-kata itu terkunci rapat di dalam dirinya. Aku bisa melihatnya—perjuangan dalam dirinya untuk menyampaikan sesuatu yang penting. Namun, apa itu?
"Ada yang perlu kau ketahui, Nara," suara Mika kali ini lebih jelas, namun penuh keraguan.