Aku berdiri diam di hadapan Mika, merasa semakin kebingungan. Kata-katanya mengguncang hati, tapi ada sesuatu yang membuatku merasa semakin tidak pasti. Mika, yang selama ini aku percayai, kini tampak seperti orang yang menyembunyikan kebenaran. Kebenaran apa yang dia takuti jika aku tahu? Mengapa dia begitu keras menahan aku untuk tidak mengungkapnya?
Aku menggenggam buku yang tadi kudapatkan dengan erat, seolah benda itu bisa memberikan petunjuk lebih jauh tentang apa yang sedang terjadi. Buku itu berat, dan semakin aku memikirkan kata-kata yang terukir di halaman pertama, semakin aku merasa semakin terjebak dalam labirin tak berujung. "Kebenaran itu ada dalam bayangan. Temukan siapa yang mengendalikannya, dan kau akan menemukan dirimu." Tapi siapa yang mengendalikan bayangan itu? Dan apa yang akan terjadi setelah aku menemukannya?
Mika masih berdiri di depanku, wajahnya semakin tampak penuh penyesalan. Namun, dia tidak berkata apa-apa. Seperti ada sesuatu yang menghalangi kata-kata keluar dari bibirnya. Aku merasa ada jarak yang semakin lebar antara kami, sebuah jurang yang tidak bisa dijembatani oleh kepercayaan lagi.
"Mika, kenapa kau tidak bisa memberi jawaban yang jelas?" tanyaku, suaraku mulai bergetar. "Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku temukan? Aku tidak bisa hidup dalam ketidakpastian ini."
Mika menarik napas panjang. "Nara, kadang-kadang, kita tidak siap untuk melihat kebenaran. Kebenaran itu bisa menyakitkan, lebih dari yang kau bayangkan."
"Apa maksudmu?" aku hampir tidak bisa menahan rasa frustrasiku. "Aku hanya ingin tahu siapa aku sebenarnya, apa yang terjadi, dan kenapa aku merasa seperti semuanya ini bukan kenyataan."
Mika mengalihkan pandangannya, tidak bisa bertahan menatap mataku. "Kebenaran yang kau cari itu akan merusak segalanya, Nara. Kita semua sudah ada dalam permainan ini lebih lama dari yang kau kira. Dan kau..." Dia menatapku tajam, seolah mencoba menilai sesuatu dalam diriku. "Kau bukan hanya orang biasa."
Aku terdiam. Kata-katanya seperti petir yang menghantam telingaku. Bukan orang biasa? Apa maksudnya? Apakah dia mengatakan bahwa aku terlibat dalam sesuatu yang lebih besar, yang lebih gelap, dari yang pernah aku bayangkan?
"Jika aku bukan orang biasa, lalu siapa aku?" tanyaku, suaraku hampir serak.
Mika terlihat ragu sejenak. "Aku tidak bisa memberitahumu semuanya. Tapi kau harus tahu, kebenaran yang kau cari itu bukan hanya tentang dirimu. Ini tentang dunia yang lebih besar, lebih gelap, yang sudah kita jalani sejak lama."
Aku merasa semakin terhimpit. Pikiran-pikiran yang selama ini menggangguku kini semakin mencekam. Apa yang dia maksud dengan dunia yang lebih gelap? Dan mengapa aku merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir?
"Tapi aku harus tahu," aku berkata dengan suara lebih tegas. "Jika aku tidak tahu sekarang, aku tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Mika menatapku lama, dan ada kesedihan yang dalam dalam tatapannya. "Kau harus berhati-hati, Nara. Ada kekuatan yang mengawasi kita. Kekuatan yang tidak ingin kebenaran ini terbongkar."
Aku merasa ketakutan itu menyusup dalam diriku. Apa yang dia katakan ini bukanlah hal sepele. Apa yang terjadi jika aku terus melangkah maju? Apakah aku bisa menghadapi segala yang akan terungkap?
Aku memutuskan untuk tetap maju, meskipun aku merasa takut. "Aku akan terus mencari, Mika. Aku harus tahu, tidak peduli seberapa besar risiko yang harus aku hadapi."
Mika terlihat semakin cemas. "Aku berharap kau bisa kembali, Nara. Kebenaran itu bisa membunuhmu. Dan aku tidak bisa melihatmu terluka lebih jauh."
Namun, aku tidak bisa mundur sekarang. Ada sesuatu yang mendorongku untuk terus maju, meskipun aku tidak tahu apa yang akan kutemui di ujung perjalanan ini. Semua yang ada di depanku masih kabur, namun aku tahu satu hal: aku harus menemukan kunci untuk mengungkap semua ini. Hanya dengan itu, aku bisa mengetahui siapa diriku yang sebenarnya, dan apa yang terjadi di dunia ini.
Aku berbalik dan melangkah ke arah yang lebih gelap, memegang erat buku yang masih ada di tanganku. Mika memanggil namaku, namun aku tidak menoleh. Aku harus melangkah. Aku harus mencari tahu, apa pun yang terjadi.
Langkahku terdengar keras di lorong kosong itu, setiap detiknya semakin membawa aku lebih dalam ke dalam kegelapan yang tak diketahui. Dan di tengah ketidakpastian itu, aku merasakan bayangan-bayangan yang mulai mengikuti setiap jejakku.
Apa yang ada di depan sana? Aku tidak tahu. Tapi aku harus menemukannya.
Langkah-langkahku semakin berat, dan rasa cemas mulai merayap perlahan, mengisi setiap sela pikiranku. Pintu yang baru saja terbuka, begitu lebar dan tanpa hambatan, membawa aku ke ruang yang lebih besar—lebih gelap, lebih menakutkan. Aku tak tahu apa yang akan aku temui selanjutnya, tapi aku tahu, aku tidak bisa berhenti.
Buku yang ada di tanganku terasa semakin berat. Setiap halaman yang kulewati, seakan membawaku lebih dekat pada jawaban, tapi juga lebih jauh dari kenyataan yang selama ini aku kenal. Kata-kata dalam buku itu mengendap dalam pikiranku, membangkitkan pertanyaan-pertanyaan yang semakin membingungkan.
Aku terus berjalan, meskipun dinding di sekelilingku semakin terasa menekan. Setiap langkah terasa lebih dalam, seolah aku melangkah menuju sesuatu yang tidak bisa lagi aku kendalikan. Aku memegangi buku itu lebih erat, berusaha mencari makna dari setiap tulisan yang ada.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar, mengejutkanku dari lamunan. Suara itu bukan berasal dari seseorang yang ada di ruangan ini, melainkan dari dalam kepalaku. Sebuah bisikan yang begitu lembut, namun jelas.
"Jangan ikuti jejak ini."
Aku berhenti, kaget dan bingung. Bisikan itu seperti datang dari dalam diriku sendiri. Aku memutar badan, berusaha mencari asal suara itu, tapi tak ada siapa-siapa di sekitarku.
Apa ini? Bisikan apa lagi ini?
Aku menggigil. Ada rasa takut yang merayap di tubuhku, namun entah mengapa, bisikan itu justru membuatku semakin penasaran. Kenapa suara itu memperingatkanku? Apa yang akan terjadi jika aku terus melangkah maju?
Aku mengabaikan suara itu dan melangkah lebih dalam. Ada sesuatu yang harus aku temukan, dan aku tidak bisa berhenti hanya karena suara yang mungkin hanya bagian dari ketakutanku. Jika ini adalah bagian dari teka-teki ini, aku harus menghadapinya.
Semakin jauh aku berjalan, semakin terasa bahwa ruang ini bukan hanya ruang fisik. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih misterius di baliknya. Dinding-dinding di sekelilingku mulai terasa seperti menyempit, seolah aku terjebak dalam sebuah labirin tanpa ujung.
Lalu, aku melihatnya.
Di ujung lorong yang gelap, ada sebuah pintu yang tampak lebih tua daripada yang lainnya. Pintu itu tampak berbeda. Tidak ada gagang, hanya sebuah bekas yang hampir tak terlihat, seolah pintu itu tidak pernah ada sebelumnya.
Hatiku berdebar. Apakah ini yang dimaksud Mika? Apakah ini pintu yang selama ini aku cari?
Dengan ragu, aku mendekat. Setiap langkah terasa semakin berat, dan semakin aku mendekat, semakin jelas bahwa sesuatu di balik pintu ini mengundangku untuk masuk.
Aku menahan napas, meraih pegangan pintu yang tidak ada, hanya merasa permukaan kayu yang kasar. Aku mencoba mendorongnya, dan dengan sedikit usaha, pintu itu terbuka perlahan.