Afterimage

Penulis N
Chapter #10

10

Dunia yang baru ini begitu berbeda. Tidak ada lagi kegelapan yang menyelimuti setiap langkahku. Tidak ada lagi bayangan yang mengintai, mengikatku dalam ketakutan yang tak berujung. Dunia ini terasa terang, seolah-olah matahari baru saja terbit, meskipun aku tahu waktunya tidak seperti itu. Aku merasa seperti baru saja dibangunkan dari tidur panjang, dan semua hal yang kubayangkan sebelumnya adalah mimpi belaka.

Aku berjalan, langkahku lebih ringan, meskipun jantungku masih berdegup kencang. Setiap napasku terasa lebih segar, lebih hidup. Ada sensasi aneh yang merayapi tubuhku, seperti aku baru saja menanggalkan lapisan-lapisan yang mengikatku selama ini. Tetapi di balik kebebasan ini, aku juga merasakan sesuatu yang hilang. Seperti ada ruang kosong dalam diriku yang dulu penuh dengan kenangan.

Kenangan itu... apakah itu benar-benar milikku?

Aku berhenti sejenak di tengah jalan. Semua yang ada di sekitarku tampak familiar, namun aku tidak bisa mengingat siapa pun atau apa pun dengan jelas. Wajah-wajah yang pernah aku kenal, tempat-tempat yang pernah aku kunjungi, semuanya kabur, seolah dilapisi kabut. Aku bisa merasakan mereka ada di sana, namun tidak bisa menjangkaunya. Seakan aku baru saja melewati sebuah pintu yang memisahkanku dengan segalanya.

Namun, dalam kekosongan ini, aku tahu ada satu hal yang tetap—satu hal yang masih mengikatku pada dunia ini. Itu adalah diriku sendiri. Aku masih ada. Aku masih hidup, meskipun segalanya terasa berbeda.

"Nara, kamu akhirnya sampai," suara itu kembali, kali ini lebih jelas. Aku menoleh, dan untuk pertama kalinya aku melihat wajah yang sangat familiar—wajahku sendiri.

Aku terkejut. "Kamu...?" suaraku bergetar, tidak percaya.

Dia tersenyum. "Aku bagian dari dirimu yang kamu lupakan. Bagian yang selama ini bersembunyi di balik kenangan-kenangan yang palsu."

Aku menatapnya bingung, masih tidak mengerti. "Kenapa aku... kenapa aku harus lupakan semua itu?"

Dia mengangguk pelan. "Karena kenangan itu bukan milikmu, Nara. Mereka bukan bagian dari hidupmu yang sebenarnya. Kamu tidak pernah benar-benar mengalaminya."

Aku merasa sebuah penyesalan datang menyelusup di hati. "Jadi... semua yang aku alami selama ini tidak nyata?" tanyaku pelan, suaraku nyaris hilang di antara angin yang berhembus.

"Benar," jawabnya tegas, matanya penuh dengan kebijaksanaan yang aneh. "Tapi itu tidak salah. Kamu hanya perlu melepaskan mereka agar bisa melihat kenyataan yang lebih besar. Apa yang terjadi padamu selama ini hanya bagian dari perjalanan untuk menemukan siapa dirimu."

Aku terdiam. Perkataannya mulai masuk ke dalam hatiku, meskipun terasa berat untuk diterima. Dunia yang selama ini kubangun, kenangan yang selama ini kupelihara, semuanya hanyalah bagian dari ilusi. Aku harus melepaskannya, agar bisa melangkah ke depan.

"Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyaku, mencari jawaban yang akan membimbingku.

Dia mengulurkan tangannya, seolah-olah mengundangku untuk mengikuti. "Langkah pertama adalah melepaskan. Tinggalkan semua yang menahanmu di tempat ini. Kemudian, kita akan berjalan bersama menuju dunia yang lebih nyata."

Aku menatap tangannya, kemudian perlahan-lahan meraihnya. Begitu aku menggenggamnya, sebuah aliran energi mengalir melalui tubuhku, mengingatkanku pada saat-saat aku pertama kali memasuki dunia ini. Perasaan itu sama sekali berbeda—sebuah rasa kekuatan yang datang bukan dari dunia ilusi, tetapi dari dalam diriku sendiri.

Kami berjalan bersama, tanpa kata-kata lagi. Rasanya seperti dunia di sekeliling kami mulai menghilang sedikit demi sedikit, memberikan ruang bagi sesuatu yang lebih nyata. Kami menuju ke depan, tanpa tahu apa yang akan kami temui di sana. Namun, satu hal yang pasti: ini adalah langkah yang benar.

Aku tahu, perjalanan ini belum selesai. Masih banyak hal yang harus kuhadapi. Tetapi sekarang aku lebih siap. Aku tidak lagi terjebak dalam kenangan yang palsu. Aku akan mencari kebenaran, bahkan jika itu berarti harus kehilangan segala yang pernah aku anggap nyata.

Setiap langkah kami terasa lebih ringan. Namun, dunia yang kami masuki kali ini tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Tidak ada lagi ilusi, tetapi dunia ini juga tidak sepenuhnya cerah. Ada bayang-bayang yang terus mengintai, meskipun tidak cukup kuat untuk menggugah ketakutanku. Itu adalah tanda bahwa perjalanan kami baru saja dimulai.

Kami terus berjalan, dan semakin jauh kami melangkah, semakin jelas rasanya bahwa aku sedang menuju suatu tempat yang jauh lebih dalam dari sekadar fisik. Dunia ini bukan hanya tentang apa yang bisa kulihat atau kurasakan, tetapi juga tentang apa yang ada di baliknya—apa yang tersembunyi di kedalaman jiwa.

"Kau masih ragu, kan?" suara itu kembali terdengar. Aku menoleh, dan kali ini wajah yang kukenal itu ada di sampingku, berjalan dengan tenang, seolah-olah dia telah mengetahui semua jawabannya.

Aku mengangguk, meskipun aku tak benar-benar tahu apa yang sedang kupikirkan. "Aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar, lebih penting yang harus kutemukan. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menemukannya."

Dia tersenyum, seolah-olah memahami keraguanku. "Rasa ragu itu bagian dari proses, Nara. Terkadang kita harus menghadapi keraguan itu untuk menemukan kekuatan dalam diri kita."

Kami berhenti di sebuah persimpangan jalan, dan aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini—sebuah energi yang begitu kuat dan berat. Itu seperti ada banyak pintu yang terbuka di hadapan kami, tetapi tidak ada satu pun yang bisa kupercaya sepenuhnya.

"Pilihlah dengan hati, bukan dengan pikiran," suara itu mengingatkanku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiranku. Semua pintu ini terasa menggoda, namun hanya satu yang benar-benar membuatku merasa tenang. Aku melangkah ke depan, meraih pegangan pintu yang tampaknya lebih familiar, lebih jujur.

Lihat selengkapnya