Langit mendung menyelimuti sore itu ketika aku tiba di depan rumah masa kecilku. Cat temboknya masih sama: putih pudar dengan noda-noda usia yang tak bisa ditutupi. Gerbang besi berderit saat kubuka, seolah menyambutku dengan nostalgia dan luka lama sekaligus. Jantungku berdetak kencang—rasa rindu dan takut beradu dalam dadaku.
Sudah bertahun-tahun aku tidak ke sini.
Aku mengetuk pintu pelan. Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari dalam. Pintu terbuka perlahan, dan sesosok wanita paruh baya muncul. Matanya langsung membelalak.
"Nara?" suaranya bergetar.
"Halo, Bu." Aku menunduk sedikit, bingung harus berkata apa.
"Ya Tuhan... kamu pulang." Dia memelukku erat tanpa memperdulikan air matanya yang mulai jatuh. Tubuhnya masih sama hangatnya, meski pelukannya kini terasa rapuh.
Kami duduk di ruang tamu. Foto-foto lama masih tergantung di dinding, sebagian sudah memudar. Ayah sudah tiada sejak lima tahun lalu, aku tahu itu dari kabar yang kudengar—meski waktu itu aku tak punya keberanian untuk kembali.
"Kenapa baru sekarang, Nak?" Ibu bertanya sambil mengelus tanganku.
Aku tak bisa langsung menjawab. Semua alasan yang pernah kuciptakan di kepalaku terasa tidak adil. "Aku terlalu takut. Takut kalian membenciku karena pergi begitu saja."
Ibu menggeleng. "Kami hanya ingin kamu kembali. Apapun yang terjadi."
Hening sejenak. Lalu aku bertanya, pelan, "Bagaimana... tentang Dira?"
Wajah Ibu langsung berubah. Ada luka lama yang tersibak. "Dia pergi, Nara. Beberapa bulan setelah kamu menghilang. Tak ada yang tahu ke mana. Kami pikir kalian pergi bersama, tapi...."
Darahku serasa berhenti mengalir. "Dia juga... menghilang?"
"Kami cari dia kemana-mana. Polisi bahkan bilang dia mungkin kabur atau... ya, hal buruk lain." Suara Ibu tercekat. "Tapi aku selalu yakin dia masih hidup."
Aku menatap lantai, otakku memutar cepat. Dira... dia bagian penting dari masa laluku. Jika dia menghilang setelah aku pergi, bisa jadi dia mencariku. Atau... dia terjebak dalam pusaran yang sama sepertiku?
"Aku harus mencarinya," kataku pelan.
Ibu menatapku, penuh harap sekaligus takut. "Kalau kamu bisa... temukan dia. Katakan padanya kami rindu. Kami maafkan semuanya."
Aku mengangguk.
Sore itu, setelah lama terpisah, aku merasa rumah ini bukan lagi tempat yang menakutkan. Tapi masih banyak yang harus kuselesaikan. Terutama, kenapa aku dan Dira bisa terpisah? Apa yang sebenarnya terjadi saat itu?
Aku keluar rumah saat senja turun, berjalan ke arah taman tua tempat kami biasa bermain. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat sosok yang membuatku terdiam di tempat—berdiri jauh, di balik pohon besar. Ia seperti bayangan... seperti Dira.
Tapi saat aku berlari ke arahnya, sosok itu menghilang.
Langkahku tertahan di bawah pohon beringin tua itu. Nafasku belum teratur, mataku menyapu sekeliling, mencari-cari. Tapi tak ada siapa-siapa. Sosok itu... aku yakin tadi melihatnya. Wajahnya sekilas mirip Dira—atau setidaknya memori yang masih tersimpan di benakku tentangnya.
Apakah aku mulai berhalusinasi?
Aku berjalan pelan menyusuri jalan setapak taman, menyentuh bangku kayu yang dulu sering kami duduki bersama. Ada ukiran nama kami di sana, samar dan usang: "Nara + Dira // 2014". Aku tersenyum miris.
Tiba-tiba, langkahku terhenti. Di bawah bangku, aku melihat sesuatu—selembar kertas kecil, dilipat rapi dan agak lembap karena embun sore. Aku mengambilnya, membukanya perlahan.
Tulisan tangan. Dikenal betul: milik Dira.
"Jika kamu membaca ini, berarti kamu kembali ke titik awal. Aku mencarimu, Nara. Tapi setiap jalan buntu. Jadi aku meninggalkan jejak. Satu per satu. Ikuti kata hatimu. Jangan percaya siapa pun. Termasuk diriku yang lama."
Tenggorokanku tercekat. Ini bukan kebetulan. Dia benar-benar mencariku. Tapi kenapa pesannya terdengar seperti peringatan?
"Jangan percaya siapa pun." Termasuk dirinya yang lama. Apa maksudnya?
Aku kembali ke rumah malam itu dengan kepala penuh tanda tanya. Ibu sudah tertidur, jadi aku masuk ke kamar lamaku. Aneh rasanya kembali ke tempat ini—kasur empuk yang dulu jadi tempat aku melamun, lemari penuh stiker jadul, dan meja belajar yang masih menyimpan coretan tahun-tahun sekolah.
Dan di sana, di antara tumpukan buku lama, aku menemukan satu lagi jejak yang tak seharusnya ada: sebuah foto.
Aku dan Dira. Tapi bukan foto yang pernah kuingat. Kami berdua tampak... lebih dewasa. Wajahku lebih tirus, rambut Dira lebih panjang. Di belakang kami ada bangunan asing, seperti asrama atau pusat rehabilitasi. Di balik foto itu ada tulisan kecil: "Blok 7 — jangan kembali sendirian."
Hatiku mencelos.
Apa yang terjadi selama aku hilang? Kenapa aku tidak mengingat ini?
Malam itu aku tidak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan: tentang diriku, tentang Dira, tentang 'blok 7' yang entah apa itu. Kenapa aku seperti kehilangan sepotong hidupku? Dan kenapa Dira seperti memperingatkanku soal sesuatu yang bahkan belum aku sadari?