Afterimage

Penulis N
Chapter #12

12

Aku mundur selangkah, mencoba menjaga jarak dari pria itu. Tapi dia tidak berhenti mendekat.

"Jangan pikir kamu bisa lari, Nara. Kami sudah mengawasi pergerakanmu sejak kamu meninggalkan rumah sakit itu," katanya, matanya tajam seperti silet.

Aku menoleh ke pintu belakang kedai—tertutup rapat. Tidak ada jalan keluar kecuali lewat arah pria itu berdiri sekarang. Otakku bekerja cepat, memutar kemungkinan demi kemungkinan. Lalu tiba-tiba, pelayan kedai datang membawa nampan, dan dalam sekejap aku menyenggol meja di depanku—kopi tumpah, piring pecah, kekacauan kecil yang cukup untuk mengalihkan perhatian.

Tanpa pikir panjang, aku menerobos keluar melewati sisi lain kedai. Kudengar pria itu mengumpat, menyusul dari belakang. Tapi aku sudah berlari ke jalanan gelap, menyelinap masuk ke gang sempit yang bahkan kendaraan tak bisa lewati. Nafasku berat, tapi langkahku terus menjejak.

Ketika kurasa cukup aman, aku bersembunyi di balik tumpukan kardus bekas di belakang sebuah toko. Suasana sunyi, hanya suara angin dan detak jantungku yang memekakkan telinga. Tapi dalam keheningan itu, kepingan-kepingan ingatan perlahan kembali.

Dira. Ada sesuatu yang pernah ia katakan dulu, sebelum semuanya kacau.

"Kalau suatu hari kamu merasa semua orang membohongi kamu, cari tempat bernama Arkana. Di sana, kamu akan tahu siapa sebenarnya dirimu."


Arkana. Kata itu kembali menggema di pikiranku. Aku tidak tahu tempat itu di mana, atau apakah itu nama orang, kota, atau institusi. Tapi satu hal yang pasti, ini bukan nama asing bagiku.

Kubuka kembali buku catatan Dira. Di halaman belakang, tertulis dengan tulisan tangannya yang nyaris pudar:

"Arkana bukan tempat. Arkana adalah rekaman. Di dalamnya, semua yang kita lupakan disimpan. Termasuk siapa kamu sebenarnya, Nara."


Tubuhku membeku. Jika Arkana adalah tempat penyimpanan kenangan... maka mungkin selama ini aku juga korban dari semua ini?

Apakah aku pernah melalui hal yang sama seperti Dira? Apakah sebagian dari hidupku sudah direkayasa?

Aku merogoh saku dan mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi peta, mengetik "Arkana." Hasil pencarian nihil. Tapi satu lokasi muncul sebagai tempat dengan nama serupa: Arkana Facility. Tersembunyi di pinggiran kota, tertutup dari peta biasa. Hanya muncul dalam mode satelit. Sebuah kompleks besar di tengah hutan.

Jantungku berdetak lebih kencang. Itu mungkin satu-satunya petunjuk nyata sejauh ini.

Aku harus ke sana.

Namun sebelum sempat menutup peta, ponselku bergetar—pesan masuk dari nomor tak dikenal.

Kamu semakin dekat. Tapi tidak semua kebenaran layak ditemukan. Jangan buat kami menyesal membiarkanmu hidup, Nara.


Aku menelan ludah. Mereka tahu. Mereka tahu aku mencari kebenaran. Tapi mereka juga tahu aku belum menyerah.

Kupandangi layar ponsel dengan tangan gemetar. Aku bisa memilih untuk berhenti di sini, kembali hidup seperti biasa—atau terus berjalan, dan menemukan sisi tergelap dari masa laluku.

Aku tahu jawabannya.

Aku akan mencari Arkana. Apa pun yang terjadi.

Jalan menuju Arkana Facility bukan hal yang bisa dicapai dalam sehari. Tempat itu terletak di ujung utara, tidak masuk rute kendaraan umum mana pun. Jalanan yang ditandai di peta hanya sampai perkampungan terakhir. Setelah itu, hanya garis samar dan warna hijau tua: hutan.

Aku berdiri di tepi terminal kecil di kota pinggiran, menatap peta offline yang sudah kucetak. Aku sudah menyamar—mengganti jaket, menyembunyikan rambut di balik topi. Tapi tetap saja, ada rasa tidak nyaman seperti terus diawasi.

Seorang pria tua yang menjual kopi di gerobak kecil menatapku, lalu bertanya, "Mau ke mana, Mbak? Kok sendirian dan kelihatan gugup?"

Aku menggeleng cepat. "Nggak, cuma mau jalan-jalan ke utara, Pak."

Dia mengangguk, lalu bicara pelan, "Kalau lewat arah sana, hati-hati. Kadang ada yang ke hutan itu... tapi nggak semua balik."

Kata-katanya menggantung di udara seperti kabut dingin. Aku tidak bertanya lebih lanjut.

---

Sore hari, aku menumpang ojek sampai desa terakhir. Dari sana, aku jalan kaki. Langit mulai menggelap ketika aku tiba di pinggir hutan. Di sinilah jalur peta satelit terputus. Di sinilah "Arkana" seharusnya berada.

Aku mengambil senter kecil dan melangkah masuk.

Pohon-pohon menjulang tinggi, rimbun dan gelap. Jalan setapak nyaris tak terlihat. Langkahku pelan, hati-hati. Tapi semakin dalam aku berjalan, suasana mulai berubah. Tidak seperti hutan biasa. Terlalu... sunyi.

Tidak ada suara burung. Tidak ada serangga. Hanya hembusan angin tipis dan dedaunan yang bergesek pelan.

Setelah hampir satu jam berjalan, aku menemukan sesuatu yang aneh: pagar kawat tinggi, berkarat sebagian, tetapi masih kokoh berdiri. Di tengahnya, ada papan kayu pudar bertuliskan: "Dilarang Masuk — Milik Pemerintah".

Aku tahu aku tidak boleh berhenti.

Kupanjat pagar itu, menyangkut sedikit di ujung kawat, membuat lenganku lecet. Tapi aku berhasil masuk.

Lihat selengkapnya