Aku tidak tidur malam itu.
Bagaimana mungkin? Pikiran ini seperti berputar terus tanpa arah. Kalau aku memilih untuk tetap di dunia ini, aku akan terus bersama Danu—meski tahu dia bukan bagian dari realita asliku. Tapi kalau aku keluar, semua ini akan hilang. Danu akan hilang.
Aku menatapnya yang duduk di kursi, diam memandang jendela. Di luar sana malam sudah berganti pagi, tapi dunia di sini tidak pernah berubah. Seakan waktu pun tidak punya kuasa di balik dinding kaca ini.
"Danu ..." aku memanggil lirih.
Ia menoleh, matanya lelah tapi lembut. "Ya?"
"Aku ingin ke ruang pusat."
Ia tidak terkejut. Hanya mengangguk pelan, lalu bangkit berdiri.
"Kamu yakin?"
"Tidak," jawabku jujur. "Tapi aku harus tahu. Aku nggak bisa hidup dengan kebohongan, bahkan kalau kebohongan itu terasa lebih baik daripada kebenaran."
Kami berjalan melewati lorong-lorong kosong. Lampu redup di langit-langit menciptakan bayangan panjang yang aneh. Tidak ada siapa-siapa. Semua pengawas seolah lenyap. Seolah dunia ini tahu bahwa aku sudah memilih.
Di depan pintu baja bertanda "CORE ROOM – Level Access Only", Danu berhenti.
"Ingat," katanya, "setelah kamu masuk, kamu tidak akan bisa kembali ke dunia ini tanpa konsekuensi. Kalau kamu memilih keluar sepenuhnya, semua hal di sini akan terhapus. Termasuk aku."
Aku menelan ludah. "Kamu tidak takut?"
Ia tersenyum kecil. "Aku diciptakan bukan untuk takut. Aku ada ... untuk mendampingi kamu. Kalau tugas itu sudah selesai, maka ... ya sudah."
Tangan gemetar saat kutempelkan kartu akses yang tadi ia berikan.
Pintu terbuka.
Dan aku pun melangkah masuk.
Ruang pusat bukan seperti yang kubayangkan. Bukan ruangan canggih penuh layar dan mesin besar. Justru sebaliknya—ruangan itu menyerupai kamar tidur kecil. Ada ranjang. Jendela kecil. Cermin besar di sudut ruangan. Dan meja kayu tempat bertumpuk surat-surat dan foto.
"Ini ..." gumamku.
"Rekaman memorimu," ujar Danu yang kini berdiri di ambang pintu. "Yang asli. Yang belum disentuh atau dimodifikasi."
Aku mendekat. Foto-foto itu menampilkan potongan hidup yang asing tapi ... familiar. Seorang wanita paruh baya—ibuku? Seorang pria dengan jenggot tebal—ayah? Sebuah rumah kecil yang entah mengapa terasa seperti tempat aku dulu pernah berlari pulang sambil menangis.
Di cermin, aku melihat diriku.
Wajahku sama. Tapi ada sesuatu yang berbeda di balik mata itu. Sesuatu yang tidak bisa disentuh oleh narasi buatan mana pun.
"Kalau kamu siap ..." Danu berkata, menunjuk ke sisi ranjang, "di sana ada panel. Kamu bisa memilih."
Aku menatap tombol-tombol itu. Dua opsi.
"Return to Engineered Reality"
"Restore Original Consciousness"
Satu akan membuat Danu tetap ada.
Yang lain akan menghapus semua kebersamaan ini.
Aku memejamkan mata. Menarik napas panjang.
"Kalau aku memilih yang asli ... kamu akan benar-benar hilang?"
"Iya," jawab Danu. "Tapi kamu akan bebas. Kamu akan menjadi kamu yang utuh, bukan ciptaan dari trauma."