Afterimage

Penulis N
Chapter #14

14

Pagi datang seperti biasa, dengan cahaya matahari yang menyelinap masuk melalui jendela rumah sakit. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang terasa lebih hampa dari sebelumnya. Mungkin karena aku tahu, bahwa aku tidak akan pernah bisa menghapus Danu dari pikiranku, meskipun aku terus berusaha.

Aku duduk di sisi tempat tidur, menatap langit yang terlihat samar-samar dari jendela. Otakku penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Kenapa aku merasa seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku? Mengapa perasaan tentang Danu tetap mengikatku, meski aku tahu itu hanya bagian dari dunia yang sudah tidak ada?

Pikiranku mulai melayang, mencoba mengingat kembali potongan-potongan kenangan itu—kenangan yang penuh warna, kenangan yang lebih nyata daripada apa pun di dunia nyata ini. Aku ingat betul bagaimana Danu akan menatapku dengan mata penuh perhatian, bagaimana ia akan mengajakku tertawa, bagaimana ia selalu ada saat aku merasa terpuruk. Namun, semua itu terasa seperti bayangan yang hanya bisa dilihat, tetapi tidak bisa digenggam.

Aku menghembuskan napas pelan. "Danu," bisikku. "Kenapa kamu harus pergi begitu saja? Kenapa aku harus meninggalkanmu?"

Suaraku hampir terdengar seperti bisikan dalam ruang kosong.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, dan Ayah masuk. Wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyuman tipis di bibirnya yang berusaha menenangkan.

"Nara," katanya, mendekat. "Gimana keadaanmu hari ini?"

Aku mengangkat bahu, tidak tahu harus menjawab apa. "Biasa saja, Ayah. Tidak ada yang berubah."

Ayah duduk di kursi samping tempat tidurku. "Kamu tahu, Nak, kami semua sangat mencintaimu. Kami ingin kamu kembali seperti dulu."

Aku menunduk. "Tapi aku bukan seperti dulu, Ayah. Aku merasa... kehilangan. Terlalu banyak hal yang tidak bisa kujelaskan."

Ayah menatapku serius, seolah berusaha menyelami apa yang sebenarnya kurasakan. "Kehilangan itu memang menyakitkan. Tapi kamu tidak boleh terus terjebak di masa lalu. Kamu harus belajar menerima. Danu... atau apa pun itu, hanya bagian dari apa yang kamu alami. Tetapi, kamu punya hidup ini. Kamu punya kami."

Aku menggigit bibir. "Tapi, Ayah... aku tidak bisa melupakan semuanya."

Ayah menghela napas panjang. "Tidak perlu melupakan, Nak. Yang perlu kamu lakukan adalah menerima. Terkadang, bagian dari diri kita yang hilang bisa kembali dalam bentuk yang berbeda. Mungkin kamu akan menemukan kebahagiaan di luar sana. Mungkin itu bukan dengan Danu, tetapi dengan sesuatu yang baru."

Aku memejamkan mata, berusaha mengatur napas yang mulai tidak teratur. Kata-kata Ayah terdengar bijaksana, tetapi tetap saja, perasaan kehilangan itu masih terlalu besar untuk ditanggalkan begitu saja.

"Sesuatu yang baru..." gumamku, mencoba mencerna makna kata-kata itu. Mungkin Ayah benar. Mungkin aku harus mencari sesuatu yang baru. Tetapi apakah aku sudah siap untuk itu?

Di luar jendela, matahari terbenam perlahan. Aku tahu, hari-hari akan terus berjalan, dan aku harus memilih apakah akan terus terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu atau mencoba membuka mata untuk melihat apa yang ada di depan.

Aku tahu satu hal—meskipun aku merasa kehilangan, aku tidak bisa terus berlarut-larut dalam kesedihan. Aku harus melangkah. Sekarang, hanya masalah waktu dan keberanian untuk melakukan itu.

Hari itu, aku memutuskan untuk keluar dari ruang rawat inap. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku merasa seperti terkurung di dalamnya, terjebak dalam lingkaran yang tidak ada ujungnya. Aku ingin merasakan dunia luar—bernapas bebas meski hanya untuk sejenak.

Aku berjalan perlahan menuju taman rumah sakit. Udara segar menyentuh kulitku, memberi sensasi yang tak bisa dijelaskan. Beberapa bunga mulai bermekaran di sepanjang jalan setapak. Sesuatu yang sederhana, tapi terasa penting saat aku berjalan sendirian, jauh dari semua kenangan kelam yang mengekang.

Setiap langkah terasa berat, namun anehnya, aku merasakan semacam kebebasan yang lama hilang. Danu... kenapa semuanya harus rumit? Kenapa aku harus menanggung perasaan ini sendirian? Aku merindukannya, itu jelas. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa terus hidup di masa lalu. Hidup harus berjalan, meskipun aku tak tahu ke arah mana.

Pikiranku mulai berkecamuk, dan langkahku tanpa sadar membawa aku lebih jauh. Tanpa terasa, aku sudah berada di luar rumah sakit. Aku berhenti sejenak, menatap sekeliling. Kota ini, yang dulu penuh warna, kini terasa berbeda. Aku merasa terasing di dalamnya, seolah semuanya berputar dengan kecepatan yang tidak bisa aku ikuti.

"Apa yang sedang aku lakukan?" bisikku pelan. "Kemana aku akan pergi?"

Aku tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu hanyalah aku ingin menemukan kedamaian—entah di mana itu. Aku ingin berhenti berlarut-larut dalam kesedihan, ingin bisa merasakan hidupku kembali. Entah itu akan datang dari tempat mana, yang jelas, aku harus menemukan jalan keluar dari perasaan yang mencekik ini.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan aku menoleh. Seorang pria dengan jaket hitam berjalan menuju arahku, wajahnya tampak serius, namun ada sesuatu yang akrab di matanya.

Aku terdiam, sedikit terkejut. Tanpa sadar, aku mundur beberapa langkah. Tapi pria itu mempercepat langkahnya dan akhirnya berhenti tepat di depanku.

"Aku tahu ini mungkin agak aneh," kata pria itu dengan suara dalam, "tapi... kamu Nara, kan?"

Aku mengangguk perlahan. "Iya. Kamu siapa?"

Lihat selengkapnya