Malam itu aku tidak bisa tidur. Bukan karena mimpi buruk atau kecemasan yang menyergap seperti dulu, tapi karena ada sesuatu yang terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kata-kata Maya siang tadi—tentang langkah kecil dan membebaskan diri dari masa lalu—terasa mengendap dan menyentuh bagian hatiku yang selama ini kupendam dalam diam.
Aku bangkit dari tempat tidur, menyelimuti tubuhku dengan sweater, lalu duduk di meja kecil di dekat jendela. Lampu kota dari kejauhan berpendar samar. Udara malam cukup dingin, tapi justru membuatku merasa lebih hidup. Ada sesuatu yang ingin kutulis.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mengambil pulpen dan selembar kertas kosong. Bukan untuk menulis surat untuk Danu. Bukan untuk curhat pada Maya. Tapi untuk menulis surat kepada... diriku sendiri.
Nara,
Kalau kamu membaca ini entah kapan nanti, mungkin kamu akan lupa bagaimana rasanya hancur. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa kamu pernah berada di titik paling gelap. Dan kamu tidak menyerah. Kamu bertahan. Kamu bangkit.
Mungkin kamu masih takut. Masih ragu. Masih menyesali banyak hal. Tapi itu tidak membuatmu lemah. Justru karena kamu mengakui semua itu, kamu jadi kuat. Jangan pernah merasa gagal hanya karena kamu belum sembuh. Luka tidak bisa disembuhkan dengan mengabaikannya. Kamu sedang menyembuhkannya pelan-pelan—dengan cara kamu sendiri.
Hari ini kamu sudah melangkah, meski cuma sejengkal. Kamu berani keluar dari tempat amanmu. Kamu berani melihat dunia, lagi. Itu hebat, Nara. Sangat hebat.
Teruslah berjalan. Pelan-pelan saja. Tapi jangan berhenti.
Aku berhenti menulis. Mataku basah, tapi aku tidak menangis karena sedih. Aku merasa lega. Surat itu bukan pengingat bahwa aku rapuh, tapi bukti bahwa aku masih bisa mencintai diriku sendiri, meski pelan dan belum sempurna.
Esok pagi, aku melipat surat itu dan menyelipkannya di antara halaman buku favoritku. Aku tidak tahu kapan akan membacanya lagi, tapi aku tahu: satu hari nanti, aku akan menemukannya dan tersenyum—karena aku telah bertahan.
Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, aku menyambut pagi dengan napas yang utuh.
Kafe kecil di dekat taman kota itu mulai jadi tempat yang sering aku datangi. Bukan hanya karena kopinya enak atau suasananya tenang, tapi karena di sana aku merasa... biasa. Dalam arti yang baik. Tidak dilihat sebagai "si mantan tunangan yang ditinggal mati," atau "si trauma yang nggak pernah keluar rumah." Di sana aku hanya Nara, perempuan yang suka duduk dekat jendela dan membaca buku sambil menyesap cappuccino.
Hari itu, aku datang lebih awal dari biasanya. Langit sedikit mendung, tapi aku tetap ingin duduk di luar, di bangku panjang dengan meja kecil. Ada semilir angin yang bawa aroma hujan yang belum jadi turun. Di depanku ada dua cangkir kopi—satu untukku, dan satu untuk Maya.
Aku menunggu sambil membaca buku yang baru kupinjam dari perpustakaan. Tapi pandanganku terus melirik ke arah jalan masuk kafe.
"Sorry telat!" suara Maya terdengar dari belakangku.
Aku menoleh. Ia datang dengan nafas sedikit terengah, rambut diikat seadanya, dan membawa dua kantong plastik berisi roti dan sesuatu yang kayaknya... bekal?
"Tenang aja, gue belum berubah jadi kopi kedua," jawabku sambil tersenyum, menunjuk cangkir kosong yang belum disentuh.
Maya duduk dan membuka salah satu kantong. "Gue bawa roti kesukaan lo. Yang isi keju. Roti ini udah kayak lambang persahabatan kita, tau gak?"
Aku tertawa pelan. "Persahabatan yang penuh kolesterol."