Afterimage

Penulis N
Chapter #17

17

Aku duduk agak lama di bangku taman itu. Posisinya masih sama seperti dulu-sedikit menghadap ke kolam ikan kecil di tengah taman, dengan pohon besar di belakangnya yang daun-daunnya suka gugur sendiri padahal belum musim.

Cowok yang tadi kulihat masih ada di bangku seberang. Dia menggambar sesuatu di buku sketsanya. Nggak buru-buru. Tangannya bergerak pelan, seperti dia sedang menikmati prosesnya lebih daripada hasilnya. Aku nggak tahu kenapa mataku terus tertuju padanya.

Beberapa menit kemudian, dia berdiri. Jalan ke arahku. Aku langsung pura-pura sibuk buka ponsel, padahal sinyal di taman itu payah banget.

"Ini buat kamu," katanya tiba-tiba, suara lembut dan agak pelan.

Aku kaget. Dia menyodorkan secarik kertas-hasil sketsa yang tadi dia buat.

Aku ragu mengambilnya. "Eh, ini...?"

Dia senyum. "Kamu tadi keliatan sedih, tapi kayaknya kamu nggak sadar kalau kamu juga kelihatan kuat."

Aku ngangkat kepala, menatapnya langsung. Mata cokelatnya teduh, ada guratan letih tapi tenang di wajahnya. Rambutnya sedikit berantakan, dan dia pakai hoodie abu-abu yang ujung lengannya agak robek. Tapi nggak ada yang aneh. Dia kelihatan... manusiawi. Hangat.

Aku akhirnya mengambil kertas itu. Di sana, ada gambar siluet cewek duduk di bangku taman, dengan pohon menjulang di belakangnya dan seekor kucing tidur di dekat kakinya. Di pojok gambar, ada tulisan kecil: "Yang diam belum tentu rapuh."

Aku bengong. "Kamu... gambar ini barusan?"

Dia mengangguk. "Aku sering gambar orang asing. Tapi jarang ngasih langsung ke orangnya. Hari ini beda."

"Kenapa beda?"

Dia nggak langsung jawab. Tapi kemudian berkata, "Karena aku ngerasa... kamu juga lagi belajar berdamai. Sama kayak aku."

Kami diam sesaat. Lalu dia melambaikan tangan kecil, "Semoga harimu tenang, ya."

Dia pergi begitu saja. Nggak minta namaku. Nggak kasih namanya juga. Tapi entah kenapa, rasanya... kami sempat saling mengenal. Meskipun sebentar.

Aku pulang dengan gambar itu di tangan. Kutempel di dinding kamar. Dan untuk pertama kalinya, aku tersenyum di depan pantulan kaca. Bukan karena seseorang datang, tapi karena aku tahu... aku nggak seasing yang kupikir selama ini.

Malam itu aku nggak bisa tidur. Gambar dari orang asing di taman tadi masih kugantung di dinding, tepat di samping jendela tempat cahaya bulan kadang menyelinap masuk. Aku nggak tahu siapa dia, tapi pertemuan tadi... membekas.

Bukan karena gambar itu bagus, tapi karena aku merasa terlihat.

Selama ini, aku menjalani hari-hari seperti bayangan: hadir tapi samar. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar nyata.

Akhirnya aku ambil buku catatan. Buku yang biasanya cuma kupakai buat tugas kuliah atau coretan nggak jelas. Kali ini, aku tulis sesuatu yang berbeda:

"Untuk diriku di masa depan,

Kalau kamu lagi baca ini di hari yang berat, ingat hari ini. Ingat saat kamu duduk sendiri di taman dan ada seseorang yang nggak kamu kenal bilang kamu kelihatan kuat. Mungkin kamu lupa rasanya sekarang. Tapi kamu pernah bisa. Dan kamu pasti bisa lagi.

Kamu udah bertahan sejauh ini, dan itu bukan hal kecil.

Terima kasih, ya. Karena kamu nggak nyerah."

- M


Aku melipat kertas itu dan menyelipkannya ke dalam buku favoritku-yang judulnya aja udah luntur karena sering kubawa ke mana-mana. Entah kapan akan kubuka lagi, tapi setidaknya aku tahu... aku pernah menulis itu untukku sendiri.

Aku tidur dengan perasaan sedikit lebih ringan.

Lihat selengkapnya