Afterimage

Penulis N
Chapter #18

18

Pagi itu, aku membuka laci meja belajar yang sudah lama tak kusentuh. Di balik tumpukan kertas bekas dan alat tulis yang mulai berkarat, aku menemukan sesuatu yang membuat jantungku berdetak lebih kencang—sebuah amplop cokelat dengan nama kecilku tertulis di bagian depan.

Tulisan tangan mama.

Tanganku gemetar saat membuka amplop itu. Kertas di dalamnya sedikit menguning, tapi aroma familiar dari lemari kayu mama masih menempel.


Untuk anakku,

Kalau suatu hari kamu merasa dunia terlalu berat, dan aku sudah nggak bisa ada di sampingmu, bacalah ini.

Kamu boleh marah, kamu boleh sedih, kamu boleh kecewa pada apa pun—termasuk padaku. Tapi jangan pernah berhenti mencoba hidup.

Aku tahu kamu kuat, walau kamu sering nggak percaya itu. Aku tahu kamu bisa berdiri sendiri, walau kamu selalu bilang takut.

Jangan pikir kamu sendiri, ya. Kamu akan bertemu orang-orang yang ngerti perasaanmu. Yang nggak maksa kamu sembuh. Yang bisa duduk diam di sampingmu waktu kamu nggak bisa ngomong apa-apa.

Hidup nggak akan selalu enak, tapi kamu akan menemukan alasan buat bertahan. Dan aku harap, kamu tahu, kamu selalu jadi alasanku.

Dengan cinta yang nggak pernah habis,

Mama.


Aku menutup surat itu perlahan. Air mata jatuh, tapi tidak membuatku tersedak seperti dulu. Ada rasa hangat yang diam-diam merayap di sela napas.

Dan entah bagaimana, aku merasa mama tahu. Bahwa aku sudah mulai belajar tersenyum lagi. Bahwa aku sudah berani menulis, tertawa, bahkan menggambar ulang kenangan kami. Bahwa aku bertemu orang yang, setidaknya, mengerti rasanya punya kehilangan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Malam itu, aku cerita ke Nara.

"Hari ini aku baca surat dari mama. Kayaknya dia ninggalinnya buat aku baca di waktu yang tepat. Dan ternyata... waktunya sekarang."

Nara: "Kadang, yang kita butuh bukan jawaban. Tapi pengingat. Bahwa kita pernah dicintai."

Aku: "Dan sekarang, aku pengin terus hidup... biar bisa mencintai balik, walaupun cuma lewat kenangan."

Beberapa hari terakhir, aku mulai punya rutinitas yang baru: bangun pagi, buka jendela, dengerin musik, lalu nulis sedikit di jurnal. Nggak panjang. Kadang cuma satu kalimat. Tapi rasanya... cukup.

Hari ini, aku tulis satu kalimat itu sambil senyum kecil.

"Aku sudah nggak takut sama pagi."

Aku menatap kata-kata itu cukup lama. Dulu, pagi selalu jadi bagian terberat. Karena itu berarti aku harus menjalani satu hari lagi tanpa mama. Tapi sekarang, pagi berarti satu kesempatan lagi untuk hidup—dengan segala yang belum selesai, dan segala yang masih bisa aku alami.

Setelah nulis, aku ambil ponsel dan kirim pesan ke Nara.

Aku: "Mau ketemu?"

Pesan itu kukirim tanpa mikir panjang. Nggak ada drama, nggak ada deg-degan. Cuma perasaan sederhana: aku pengin ngobrol langsung. Bukan karena Nara harus menyelamatkanku, tapi karena aku pengin bilang terima kasih.

Beberapa menit kemudian, balasannya muncul.

Lihat selengkapnya