Afterimage

Penulis N
Chapter #19

19

Beberapa hari setelah nonton bareng itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Sepertinya, pengaruh Nara dan semua hal yang aku alami belakangan ini mulai mengubah cara pandangku terhadap dunia. Setiap hari yang berlalu, aku mulai merasa sedikit lebih bebas, sedikit lebih tenang, meski kadang bayangan masa lalu masih datang menyelinap. Tapi, entah kenapa, kali ini aku merasa lebih siap menghadapi mereka.

Pagi itu, aku kembali bangun dengan perasaan yang jauh lebih ringan dari biasanya. Biasanya, aku akan merasa tertekan dengan kenyataan, merasa seolah dunia ini terlalu berat untuk kuhadapi. Tapi kali ini, aku merasakan sedikit harapan, meskipun masih samar. Aku duduk di meja makan, memandang secangkir teh hangat yang sudah kubuat tadi, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjalani hari.

Tiba-tiba ponselku berdering lagi, kali ini dari Nara.

Nara: "Gimana pagi ini? Ada waktu buat ngobrol?"


Aku membalasnya dengan cepat, merasa aneh jika tidak berbicara dengannya. Ada perasaan nyaman yang tumbuh antara kami, sebuah kebiasaan baru yang aku sukai.

Aku: "Pagi ini? Ada. Kenapa, ada apa?"


Nara: "Aku cuma pengen cerita sedikit tentang hari-hariku. Dan kamu tahu, kadang ngobrol sama kamu itu bikin aku merasa lebih ringan."


Aku tersenyum membaca pesan itu. Rasanya menyenangkan bisa jadi tempat bagi seseorang untuk berbagi tanpa rasa takut atau cemas. Aku membalasnya.

Aku: "Aku juga gitu. Jadi, kapan kita ngobrol?"


Nara: "Kalau kamu nggak sibuk, kita bisa ketemu di kafe lagi. Nggak ada acara, cuma pengen ngobrol."


Aku tak butuh waktu lama untuk memutuskan. Sepertinya pertemuan seperti itu bisa jadi cara yang baik untuk menghabiskan waktu dan membicarakan hal-hal yang nggak selalu bisa dibicarakan lewat pesan.

---

Siang itu, aku kembali bertemu dengan Nara di kafe yang sama. Kami duduk di tempat yang lebih sunyi, jauh dari keramaian, seolah dunia di sekitar kami sudah menghilang. Hanya ada dua kursi, dua cangkir kopi, dan percakapan yang mengalir begitu saja.

Nara mulai bercerita tentang kehidupannya belakangan ini. Dia membicarakan keluarganya, pekerjaannya yang kadang membuatnya merasa stres, dan juga bagaimana dia mencoba menghadapi ketakutannya sendiri. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba merasakan apa yang dia rasakan. Tanpa sadar, aku merasa semakin dekat dengannya. Ada hal-hal yang dulu terasa asing, kini mulai terasa lebih mudah untuk kuhadapi. Aku mulai melihat bagaimana Nara juga punya perjuangannya sendiri, dan betapa banyak hal yang kami punya kesamaan meskipun jalan hidup kami berbeda.

"Aku juga nggak selalu merasa kuat," katanya setelah bercerita panjang lebar. "Kadang aku merasa nggak ada yang bisa aku andalkan, selain diri sendiri. Tapi, kamu tahu, mungkin kita harus berhenti berpikir kalau kita harus kuat terus-menerus. Kadang, kelemahan itu justru bikin kita jadi lebih manusiawi."

Aku terdiam beberapa saat, mencerna kata-katanya. Rasanya, selama ini aku selalu berusaha keras untuk terlihat kuat, untuk tidak terlihat rapuh. Tapi kini aku mulai memahami bahwa ada kekuatan dalam menerima kelemahan, dalam menyadari bahwa kita pun bisa merasa rentan. Itu bukan tanda kelemahan, melainkan tanda manusiawi.

"Kamu tahu, kadang aku mikir kalau hidup ini cuma soal mencari tempat yang tepat untuk meletakkan hati kita," lanjut Nara. "Tapi aku sadar, mungkin tempat itu bukan hanya tempat fisik. Mungkin itu ada di dalam diri kita sendiri."

Aku mengangguk, merasa perasaan yang sama. Mungkin inilah yang aku butuhkan—mencari tempat yang tepat untuk hatiku, tanpa harus merasa bersalah atas rasa sakit atau keraguan yang pernah ada. Tanpa harus menuntut diriku untuk sempurna.

"Aku nggak pernah tahu kalau aku bisa merasa kayak gini," kataku pelan. "Kayak... lebih tenang."

Nara tersenyum, dan kami duduk bersama dalam keheningan yang nyaman. Tanpa perlu banyak kata, kami berdua tahu bahwa langkah kecil yang kami ambil ini mulai membawa kami menuju kedamaian yang lebih besar.

Sejak pertemuan itu, aku merasa sedikit lebih ringan. Namun, meskipun ada perasaan lebih tenang, aku tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Ada banyak hal dalam diriku yang masih harus diselesaikan. Bagaimana aku menghadapi masa lalu, bagaimana aku menerima diriku yang terkadang rapuh, dan bagaimana aku membangun kembali kepercayaan pada orang-orang di sekitarku.

Hari-hariku masih dipenuhi dengan pekerjaan, dengan rutinitas yang kadang terasa membosankan. Tetapi, sesuatu yang berbeda kini terjadi. Ada sebuah ruang kosong dalam diriku yang mulai terisi dengan hal-hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Keberadaan Nara, dengan segala kehangatannya, membuka mata hatiku terhadap banyak hal yang sebelumnya kuanggap sepele.

Pagi itu, setelah menghabiskan waktu di kantor, aku kembali merasakan ketegangan di dalam diri. Rasanya seperti ada sesuatu yang belum selesai. Aku keluar dari kantor lebih awal, memutuskan untuk berjalan kaki di sekitar taman kota. Aku butuh udara segar, butuh ruang untuk berpikir tanpa gangguan apapun.

Aku berjalan tanpa tujuan jelas, hanya mengikuti langkahku, membiarkan kaki membawaku kemana pun. Angin sejuk menyentuh wajahku, dan suara dedaunan yang bergesekan membuat suasana semakin damai. Tiba-tiba, pikiranku kembali pada percakapan dengan Nara kemarin. Tentang kelemahan, tentang menerima diriku apa adanya. Aku tahu aku belum benar-benar menerima semua itu.

Setelah beberapa waktu berjalan, aku berhenti di sebuah bangku taman. Memandang langit yang sedikit mendung, aku merasa ada ketenangan yang jarang ku rasakan. Aku duduk dan menutup mata, berusaha untuk merasakan kedamaian ini lebih dalam lagi.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku membuka layar, dan melihat pesan dari Nara.

Lihat selengkapnya