Afterimage

Penulis N
Chapter #20

20

Beberapa bulan setelah itu, aku dan Nara mulai merasa lebih stabil. Kami mulai menciptakan kenangan baru, namun bayang-bayang masa lalu terkadang masih datang menghantui. Kadang-kadang, aku bisa merasakannya—perasaan kesendirian yang tersembunyi di balik senyum Nara, atau kecemasan yang ia sembunyikan saat berbicara tentang masa depan. Aku tahu dia belum sepenuhnya terbebas dari rasa sakit yang pernah dia alami.

Namun, aku juga tahu bahwa kami tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang itu. Aku ingin dia merasa bebas, tidak terikat pada masa lalu yang kelam. Tapi, apakah itu bisa terjadi begitu saja?

Pada suatu malam, aku mengajak Nara untuk pergi ke sebuah kafe kecil di ujung kota. Kafe itu sederhana, dengan pencahayaan temaram dan musik jazz yang lembut mengalun. Tempat itu terasa nyaman, seakan memberi kesempatan untuk berbicara tanpa gangguan.

Kami duduk di meja dekat jendela, menatap ke luar yang gelap. "Kamu ingat nggak waktu kita pertama kali bertemu?" tanyaku, memecah keheningan yang lama.

Nara tersenyum, meskipun ada rona kesedihan di matanya. "Iya, aku ingat. Kamu yang pertama kali datang menghampiriku di perpustakaan. Waktu itu aku pikir, kamu hanya ingin bertanya soal buku."

Aku tertawa pelan. "Tapi ternyata aku malah terjebak dalam obrolan panjang, kan?"

"Iya," jawab Nara, "dan aku merasa itu aneh, tapi nyaman. Kita jadi mulai sering ngobrol, dan aku mulai merasa lebih baik."

Tapi aku tahu bahwa meskipun kami mulai merasa lebih baik, ada sesuatu yang mengganjal. Aku bisa melihatnya di matanya—perasaan yang belum selesai, luka yang belum sembuh sepenuhnya.

"Apa kamu merasa sudah benar-benar sembuh?" tanyaku dengan hati-hati.

Nara terdiam sejenak, seolah-olah mempertimbangkan jawabannya. "Aku rasa luka itu nggak akan pernah benar-benar hilang. Tapi aku bisa belajar hidup dengannya. Mungkin itu cukup untukku."

Aku menatapnya, mencoba mencerna kata-katanya. "Aku berharap kita bisa menemukan cara untuk sembuh bersama, bukan hanya masing-masing."

Nara tersenyum, meskipun masih ada kesedihan yang mengintip di matanya. "Aku juga berharap begitu. Tapi, kita harus sabar. Kita nggak bisa memaksakan semuanya terjadi dalam semalam."

Aku mengangguk pelan. Memang benar, mungkin penyembuhan itu membutuhkan waktu. Kami harus belajar menerima satu sama lain, dengan segala kekurangan dan luka yang ada. Mungkin itulah yang disebut dengan cinta yang sesungguhnya—bukan hanya saat semuanya sempurna, tetapi saat kita tetap bertahan meskipun ada kekurangan.

---

Saat malam semakin larut, kami meninggalkan kafe dan berjalan kembali menuju mobil. Tangan kami saling meraih, sebuah gestur kecil yang terasa sangat berarti. Kami tahu jalan kami masih panjang, penuh dengan ketidakpastian dan rintangan. Tapi satu hal yang kami yakini, kami tidak akan berhenti mencoba.

"Terima kasih sudah ada di sini," kata Nara pelan, menatapku dengan mata yang penuh arti.

Aku tersenyum, meremas tangannya sedikit. "Aku juga berterima kasih. Kita akan melewati ini bersama-sama."

Dengan langkah yang lebih mantap, kami melangkah maju, siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Karena, pada akhirnya, yang terpenting bukanlah masa lalu atau ketakutan tentang masa depan, tetapi perjalanan yang kami jalani bersama.

Malam itu, setelah kami meninggalkan kafe, rasa tenang yang sempat kami rasakan mulai kembali tergantikan oleh perasaan yang lebih kompleks. Ketika aku berjalan di samping Nara, aku bisa merasakan ketegangan kecil di udara. Meski kami berada dalam keheningan, ada rasa yang tak terucapkan, sebuah pertanyaan yang terus menggelayuti pikiran kami berdua.

Setibanya di rumah, kami duduk di ruang tamu, menyisakan ruang untuk pikiranku yang terasa lebih berat. Nara tampak kelelahan, tapi wajahnya tetap menunjukkan ketegasan yang sudah menjadi bagian dari dirinya.

"Apa kamu merasa, kadang-kadang, kita terlalu terfokus pada masa lalu?" Aku bertanya, mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Seolah-olah, kita selalu membandingkan semuanya dengan masa lalu yang penuh dengan kepahitan?"

Nara menatapku dengan tatapan yang penuh pemikiran, lalu menghela napas panjang. "Aku rasa kita memang sering melakukannya. Kadang-kadang, aku merasa tak bisa lepas dari bayang-bayang itu. Tapi, aku tahu itu bukan hal yang sehat."

Aku mengangguk. "Aku ingin kita bisa benar-benar bebas. Tidak hanya dari masa lalu kita, tapi juga dari rasa takut yang selalu mengintai setiap kali kita merasa bahagia."

Tentu saja, ini bukan hal yang mudah. Kami berdua tahu bahwa luka yang terbentuk dari waktu-waktu yang lalu tidak akan sembuh begitu saja. Dan meskipun kami saling mencintai, kadang rasa takut itu datang lagi. Rasa takut kehilangan, rasa takut akan kebahagiaan yang terlalu sempurna, atau bahkan rasa takut akan ketidakpastian yang selalu datang.

Namun, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku tidak akan membiarkan ketakutan mengendalikan kami.

---

Hari-hari berikutnya mulai kembali sibuk dengan rutinitas sehari-hari, namun ada satu hal yang tidak bisa kami hindari: pertanyaan tentang masa depan. Kami tahu, hubungan kami bukan tanpa tantangan. Bahkan, dengan luka yang masih ada di antara kami, terkadang aku merasa seakan kami berdiri di jurang ketidakpastian, menunggu apa yang akan datang.

Suatu sore, Nara mengajakku untuk berjalan-jalan di taman. Ini adalah rutinitas yang jarang kami lakukan bersama, karena keduanya lebih memilih menghabiskan waktu di rumah atau di kafe yang tenang. Namun, kali ini, tampaknya Nara ingin mencoba hal yang berbeda.

"Kamu tahu, kadang aku merasa takut," kata Nara, matanya menatap jauh ke depan, seolah-olah mencari sesuatu di cakrawala yang samar. "Takut kalau semuanya yang kita bangun ini, akan hancur begitu saja."

Lihat selengkapnya