Afterimage

Penulis N
Chapter #22

22

Hari-hari berlalu setelah percakapan itu. Meskipun kami berdua berusaha untuk melanjutkan rutinitas kami, suasana menjadi lebih tegang. Nara semakin tenggelam dalam pekerjaannya, sementara aku merasa semakin jauh darinya. Terkadang, aku merasa seperti hanya menjadi penonton dalam hidupnya yang sibuk.

Sementara itu, Nara tidak pernah mengungkapkan lebih banyak perasaannya sejak hari itu. Hanya ada kesibukan di studionya dan pekerjaan yang terus menumpuk. Aku tahu dia berjuang dengan dilema besar ini, tetapi aku mulai merasa seperti aku hanya ada untuk menjadi pengingat bahwa dia memiliki sesuatu yang lebih penting untuk dipikirkan.

Aku duduk di meja makan dengan secangkir kopi, mencoba memecah keheningan yang semakin menebal di antara kami. Nara duduk di ujung meja, memeriksa hasil lukisannya dengan mata yang penuh konsentrasi.

"Apa kamu sudah memutuskan apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku dengan suara lembut.

Nara menatap lukisannya, seolah-olah jawabannya ada di sana, di atas kanvas yang masih setengah jadi. "Aku nggak tahu. Rasanya semakin sulit, Nara. Semakin aku berusaha fokus pada karier, semakin aku merasa kita semakin jauh. Tapi jika aku berhenti sekarang, aku merasa aku akan kehilangan segalanya."

Aku menghela napas. "Aku mengerti, Nara. Tapi kamu juga harus ingat, kamu nggak sendirian. Aku ada di sini, apapun yang kamu pilih."

Dia mengangguk, tetapi matanya kosong, seperti sedang terperangkap dalam pertarungan batin yang berat. "Aku nggak ingin kamu merasa terabaikan. Aku nggak ingin kamu merasa bahwa aku nggak peduli dengan kita."

"Aku tahu kamu peduli," kataku, mencoba meyakinkan dirinya dan juga diriku sendiri. "Ini bukan tentang aku, ini tentang kamu. Tentang apa yang kamu inginkan, tentang apa yang membuat kamu bahagia."

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Nara menundukkan kepala, tampak seperti berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Aku rasa aku harus mengambil keputusan ini, meskipun itu akan sulit. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku harus memilih apa yang benar-benar aku inginkan."

Aku melihatnya dengan mata penuh pengertian. Keputusan itu memang bukan sesuatu yang mudah. Kadang-kadang, keputusan yang sulit memang datang saat kita merasa terjepit di antara dua hal yang penting.

"Apapun keputusanmu, aku akan mendukungmu, Nara," kataku dengan penuh keyakinan. "Kamu harus memilih apa yang paling kamu inginkan, dan kita akan cari jalan untuk itu."

Nara tidak segera menjawab. Dia hanya menunduk dan melanjutkan pekerjaannya, tampak lebih dalam dalam pemikirannya. Aku tahu bahwa dia harus membuat keputusan ini sendiri, tapi di saat yang sama, aku berharap dia bisa melihat bahwa apa pun yang dia pilih, aku akan berada di sisinya.

Namun, malam itu, perasaan kosong itu semakin menguat. Ada sesuatu yang hilang. Mungkin kami berdua merasa terperangkap dalam harapan yang tak terucapkan. Mimpi Nara dan kenyataannya mulai saling berhadapan, dan semakin lama, semakin sulit untuk menyatukan keduanya.

Pagi itu terasa begitu hening, seolah-olah dunia di sekitar kami mematung dalam diam. Nara lebih sering menghabiskan waktu di studio, dan meskipun kami tinggal di rumah yang sama, ada jarak yang semakin lebar di antara kami. Aku bisa merasakan ketidaknyamanan yang perlahan tumbuh, meskipun Nara tak mengatakannya langsung.

Aku berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap keluar, memikirkan segala hal yang telah terjadi. Apakah ini yang seharusnya kami lakukan? Apakah berdiam dalam ketidakpastian adalah jawaban untuk semua ini?

Pikiran itu terus menghantuiku, tapi aku memilih untuk tidak mengganggu Nara. Sepertinya dia sedang membutuhkan ruang, dan aku tidak bisa memaksanya untuk membuka diri jika dia belum siap.

Saat aku menoleh, aku melihat Nara sedang duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Keheningan itu menyiksa, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.

Aku berjalan ke arah meja, duduk di sebelahnya, dan mencoba berbicara dengan suara lembut. "Nara, apa yang terjadi? Aku merasa kita semakin jauh."

Nara mengangkat kepala, matanya kosong, tetapi aku bisa melihat sedikit kelelahan di sana. "Aku tidak tahu, Nara. Aku merasa seperti... terjebak. Ada bagian dari diriku yang ingin terus melukis, tapi ada bagian yang merasa kehilangan sesuatu yang lebih penting."

Aku menghela napas. "Aku mengerti, tapi... apakah kamu yakin itu tentang lukisan? Atau tentang kita?"

Nara terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke arah lantai. "Aku rasa keduanya. Aku hanya... bingung."

Aku merasa hatiku serasa dihimpit. Aku tahu dia sedang berjuang, dan aku ingin berada di sana untuknya. Tetapi aku juga harus mengakui, ini mulai merenggut diriku. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa terus menahan diri.

"Aku hanya ingin kamu bahagia, Nara. Itu yang penting," kataku, meskipun dalam hatiku ada rasa takut yang menggerogoti.

Nara menatapku dengan mata yang sedikit lebih lembut, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Dia hanya mengangguk pelan, seolah menyetujui kata-kataku, meskipun masih ada kekosongan di antara kami.

Keheningan itu semakin mencekam. Aku bisa merasakan jarak yang semakin besar, bahkan lebih besar dari sebelumnya. Ini bukan sekadar masalah komunikasi, tapi lebih dalam dari itu. Kami berdua sepertinya sedang berperang dengan perasaan kami sendiri, dan kami terlalu takut untuk menghadapinya.

Aku ingin meraih tangan Nara, memberi tahu bahwa aku akan ada untuknya, tetapi aku tidak tahu apakah itu akan memperburuk keadaan. Di satu sisi, aku ingin kami kembali seperti dulu, tetapi di sisi lain, aku tahu hal itu tidak mungkin terjadi jika kami terus menyembunyikan perasaan kami.

Aku akhirnya memutuskan untuk berdiri dan berjalan ke luar. "Aku akan pergi sebentar," kataku, berusaha terdengar tenang meskipun hatiku kacau. "Aku perlu sedikit waktu untuk berpikir."

Nara hanya mengangguk, dan aku tahu dia mengerti. Kami berdua membutuhkan waktu untuk menyendiri, meskipun tidak ada yang benar-benar tahu apa yang harus dilakukan.

Saat aku melangkah keluar, aku melihat langit yang mendung, seolah mencerminkan perasaanku. Aku berjalan tanpa tujuan, hanya ingin melarikan diri dari segala kebingunganku. Setiap langkah terasa berat, dan di dalam dadaku ada rasa sesak yang tidak bisa kujelaskan.

Ketika aku kembali ke rumah, suasana di dalam tidak banyak berubah. Nara masih ada di tempat yang sama, memandang lukisannya yang belum selesai. Tetapi kali ini, aku merasa sesuatu yang berbeda di udara. Ada semacam perasaan bahwa ini adalah titik balik, bahwa kami berdua harus memilih jalan masing-masing.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi satu hal yang pasti—kami tidak bisa terus seperti ini. Kami harus menemukan cara untuk menyelesaikan kebingungan ini, bahkan jika itu berarti harus melepaskan satu sama lain.

Aku berjalan mendekat ke Nara, yang masih terbenam dalam pikirannya. "Nara..." suaraku serak. "Aku ingin kita bicara."

Nara mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, matanya terlihat lebih hidup. Ada keraguan di sana, tapi juga sesuatu yang lebih kuat, sebuah keputusan yang mulai terbentuk.

Lihat selengkapnya