Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus lembut di luar jendela, membuat tirai bergoyang perlahan. Kami duduk di ruang tamu, di depan api unggun kecil yang baru saja dinyalakan. Suasana tenang, namun dalam hati kami berdua, ada kecemasan yang terus mengendap.
Aku menatap api yang berkelip, membiarkan pikiranku melayang ke masa lalu, pada semua hal yang telah terjadi. Setiap kenangan seakan datang menghantui, membawa rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang.
Nara duduk di sebelahku, lebih tenang daripada sebelumnya. Namun, matanya masih menyimpan keraguan yang jelas terlihat. Aku tahu dia juga memikirkan hal yang sama, meskipun tidak mengatakannya.
"Ari," suara Nara terdengar lembut, menarikku kembali dari lamunan. "Kita memang mulai mencoba untuk memperbaiki semuanya. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku juga takut. Takut kalau kita akan gagal lagi."
Aku mengangkat wajahku, menatap Nara dengan serius. "Aku juga takut, Nara. Takut kalau aku nggak cukup baik untuk kita. Takut kalau aku nggak bisa memberi apa yang kamu butuhkan."
Nara menundukkan kepala, lalu perlahan mengangkatnya untuk menatapku dengan tatapan yang lebih dalam. "Kita berdua punya ketakutan yang sama, kan? Tapi aku mulai menyadari satu hal. Ketakutan itu nggak akan pernah hilang begitu saja. Yang bisa kita lakukan adalah terus berjalan meskipun ada ketakutan itu. Mungkin itulah yang namanya keberanian."
Aku menghela napas, sedikit lega dengan kata-katanya. "Keberanian, ya? Itu yang kita butuhkan sekarang. Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi kalau kita terus ragu."
"Benar," jawabnya, sambil menggenggam tanganku. "Keberanian bukan berarti tidak ada rasa takut. Tapi kita bisa memilih untuk terus maju meski ada rasa takut itu. Dan aku ingin terus maju bersama kamu, Ari."
Aku tersenyum tipis, merasakan kehangatan yang meresap dalam hatiku. "Aku juga ingin begitu, Nara. Aku ingin kita berdua melangkah bersama, menghadapi semuanya, meskipun itu nggak mudah."
Kami duduk dalam diam, membiarkan api unggun itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata kami. Aku tahu, perasaan ini—meskipun penuh dengan ketakutan—adalah awal dari perubahan besar yang akan datang.
Kami tidak tahu pasti ke mana arah hubungan ini akan berjalan, tapi satu hal yang pasti, kami tidak akan menghadapinya sendirian. Kami akan berjalan bersama, selangkah demi selangkah.
Pagi berikutnya datang dengan kabut tipis yang menyelimuti seluruh kota. Aku terbangun lebih awal dari biasanya, dan ketika membuka jendela, udara dingin pagi itu terasa menyejukkan kulit. Suasana terasa lebih hening dari biasanya, seolah dunia sedang menunggu sesuatu.
Di dapur, aku menemukan Nara sedang mempersiapkan sarapan, wajahnya terlihat lebih cerah meskipun masih ada jejak kelelahan di matanya. Tanpa berkata apa-apa, aku mendekat dan duduk di meja makan. Nara menoleh ke arahku dan tersenyum. Senyum itu terasa berbeda, lebih tulus, seolah ada kedamaian yang mulai datang ke dalam dirinya.
"Apa kabar pagi ini?" tanyanya sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir.
"Lebih baik," jawabku, memandangi wajahnya yang semakin terlihat tenang. "Aku merasa kita mulai menemukan cara untuk bergerak maju. Pelan-pelan, tapi kita bisa."
Nara duduk di depanku, menatapku dengan mata yang penuh pengertian. "Iya, Ari. Kita mungkin masih belum sempurna, tapi aku yakin kita bisa menghadapinya, apapun yang datang. Kita bisa terus memperbaiki diri, memperbaiki hubungan ini. Mungkin memang butuh waktu, tapi kita bisa."
Aku mengangguk, merasa lebih yakin dengan kata-katanya. Kami tidak akan bisa memperbaiki semuanya dalam semalam, tapi kami bisa mulai dari langkah-langkah kecil. Dan langkah kecil itulah yang akan membawa kami ke tempat yang lebih baik.
Kami makan bersama dalam keheningan, dan meskipun tidak banyak bicara, ada perasaan damai yang mengalir di antara kami. Aku tahu bahwa meskipun jalan di depan masih panjang, kami sudah memulai perjalanan itu bersama.
Setelah sarapan, aku berdiri dan menghadapinya. "Nara, aku ingin mengajak kamu pergi ke tempat yang pernah kita kunjungi dulu. Tempat yang membuat kita merasa lebih dekat. Mungkin, itu bisa menjadi langkah kecil untuk kita memulai kembali."
Nara menatapku, sejenak terdiam sebelum akhirnya mengangguk. "Aku setuju. Ayo kita pergi."