Keheningan di antara kami bukanlah kebisuan yang membebani, tetapi lebih kepada sebuah pengertian yang saling terjalin. Kami berdua tahu bahwa tidak ada cara yang mudah untuk mengatasi semuanya, namun seiring berjalannya waktu, ada satu hal yang terasa lebih jelas: kami tak bisa kembali ke masa lalu yang telah terluka, tetapi kami bisa melangkah ke depan dengan lebih bijak.
Pagi itu, kami memutuskan untuk berjalan bersama, berkeliling kota tanpa tujuan yang pasti. Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya tempat yang dulu sering kami kunjungi, tapi sekarang terasa seperti kenangan yang jauh. Waktu telah mengubah segala hal, dan meskipun itu menimbulkan kerinduan, ada juga rasa lega yang datang dari penerimaan.
"Dulu, kita sering ke sini setelah sekolah, kan?" Nara berkata sambil menunjuk sebuah taman kecil yang terletak di antara gedung-gedung tinggi. "Aku ingat kita duduk di sana, membicarakan masa depan kita. Tanpa sadar, masa depan itu sekarang sudah datang, dan aku... aku merasa bingung."
Aku berhenti berjalan dan menatap Nara. Matanya mengembara, seakan mencoba mencari arti dalam setiap langkah yang telah kami lewati. "Apa yang kamu rasakan sekarang, Nara?" tanyaku.
Nara tersenyum tipis, senyuman yang tidak sepenuhnya ceria, namun lebih kepada sebuah kedamaian yang perlahan tumbuh. "Aku merasa lebih lega, Ari. Entah kenapa, setelah kita berbicara tadi, aku merasa sedikit lebih ringan. Aku tahu, ini tidak akan mudah. Tapi aku merasa kita masih punya waktu. Kita masih punya kesempatan untuk mencoba lagi."
Aku mengangguk pelan, merasakan apa yang Nara rasakan. Terkadang, kata-kata bukanlah penyembuh terbaik, tetapi keberanian untuk saling hadir dan mencoba mengerti adalah langkah pertama yang perlu diambil.
Kami melanjutkan langkah kami, berjalan menyusuri trotoar kota yang sibuk. Pemandangan yang dulunya terasa biasa kini berubah menjadi sesuatu yang lebih berarti, sesuatu yang penuh makna bagi kami berdua.
Beberapa waktu lalu, aku merasa seperti semuanya akan berakhir begitu saja, tapi hari ini, ada secercah harapan yang mulai terbentuk. Mungkin benar apa yang dikatakan Nara tadi-bahwa kita tidak perlu melupakan masa lalu, cukup belajar darinya.
Namun, aku tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang belum selesai. Akan ada banyak rintangan, dan aku juga tahu bahwa mungkin kami akan menemui jalan buntu lagi. Tapi aku tidak lagi takut, setidaknya untuk saat ini.
Kami berhenti di sebuah kafe kecil yang terlihat familiar, tempat yang pernah menjadi saksi bisu tawa dan tangis kami bertahun-tahun yang lalu. Di sana, kami duduk bersama, memesan kopi dan menatap langit yang mulai memudar menjadi senja.
"Ari, aku ingin berterima kasih," kata Nara, matanya tertutup sejenak, seolah mencoba merasakan ketenangan di sekitarnya. "Aku tahu aku sudah banyak membuatmu bingung dan frustasi. Tapi terima kasih karena kamu tetap ada. Terima kasih karena kamu tidak pernah menyerah."
Aku menatapnya dengan serius. "Kita tidak akan pernah bisa tahu apa yang akan terjadi, Nara. Tapi aku percaya kita bisa menghadapinya bersama. Aku tidak akan pergi."
Nara tersenyum, senyuman yang lebih lepas, lebih penuh harapan. "Aku juga tidak akan pergi, Ari."
Kami menghabiskan sisa waktu kami di kafe itu, berbicara tentang hal-hal kecil yang selama ini terlewatkan, tertawa tentang kenangan lama, dan merencanakan masa depan yang masih penuh dengan ketidakpastian. Tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan mulus, namun kami tahu satu hal: bersama, kami bisa saling menguatkan.
Pagi itu, udara terasa berbeda. Ada semacam ketenangan yang mengalir, lebih lembut dari sebelumnya. Aku dan Nara sedang duduk di tepi pantai, menikmati suara deburan ombak yang membawa serta perasaan tenang, namun juga menggugah kenangan yang pernah ada.
"Ari, kadang aku merasa... kita terlalu lama terjebak dalam bayang-bayang masa lalu," kata Nara pelan, suaranya menyatu dengan riuh ombak. "Semakin kita berusaha melupakan, semakin kita tidak bisa melepaskan diri darinya."
Aku menoleh, menatap wajahnya yang terluka namun penuh harapan. Aku tahu perasaan itu, perasaan terjebak di antara kenangan yang indah dan rasa sakit yang datang bersamanya.
"Memang tidak mudah," jawabku, "tapi kita bisa memilih bagaimana kita melihatnya. Kenangan itu, meskipun menyakitkan, tetap bagian dari kita. Mungkin kita hanya perlu belajar untuk menerima semuanya."
Nara mengangguk pelan, matanya terpejam sejenak, seolah meresapi kata-kataku. "Aku ingin belajar menerima, Ari. Aku ingin melangkah maju tanpa terus-menerus menoleh ke belakang."
Aku tersenyum kecil. "Kita bisa melakukan itu bersama. Aku akan selalu ada untuk kamu, Nara."
Keheningan menyelimuti kami untuk beberapa saat, tapi itu bukan keheningan yang menekan. Itu adalah keheningan yang memberi ruang bagi keduanya untuk berpikir, untuk menerima keadaan. Di dalam hati kami, ada rasa saling menguatkan yang tak terucapkan, tetapi sangat jelas terasa.
Tak lama kemudian, Nara menoleh padaku, seolah mengingatkan sesuatu yang sudah lama terlupakan.