Acara bulan bahasa merupakan acara tahunan di jurusan Sastra Indonesia, tempat Giandra mengemban ilmu strata-nya. Tepat pada 28 Oktober yang diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, ditetapkan pula bahasa resmi yang digunakan masyarakat lokal, yakni bahasa Indonesia. Sebagai instansi pendidikan di bidang kebahasaan Indonesia, bulan bahasa adalah bentuk apresiasi warga Sastra Indonesia menjadi acara terbesar dalam kalender acara jurusan Sastra Indonesia.
Megahnya acara bulan bahasa memicu Giandra sengaja berpenampilan agak stylish di acara kali ini. Ia agak sedikitnya ingin memperlihatkan kharismatiknya di depan teman-temannya.
Dengan mengenakan kaus warna putih yang berlabel Tommy Hilfiger dipadukan dengan sweater tipis hitam serta celana jins hitam membuat tubuh jangkungnya terlihat jelas. Dibiarkannya rambut tebalnya disibakkan sedikit ke atas dengan bantuan pomade. Giandra mengedipkan matanya di depan kaca, merasa bangga memiliki tubuh bak aktor.
Taman Budaya atau yang lebih dikenal dengan Gedung Cak Durasim terpantau sangat padat. Giandra hampir kesulitan menemukan teman-teman seangkatannya. Giandra mengenang sendiri, melihat gedung penuh kenangan ini dipadati orang banyak. Ia berandai-andai, gedung ini layak menjadi pilihan wajib destinasi wisata budaya masyarakat Surabaya.
Giandra berhamburan ke kerumunan teman seangkatannya ketika berada di lokasi bersejarah itu. Mereka saling berjabat tangan, saling melempar kabar diri masing-masing. Giandra memang selalu menjadi bahan sorotan. Pasalnya, Giandra dikenal ketampanannya, meski tidak terlalu berprestasi di angkatannya. Lulus kuliah pun terlambat dua tahun hanya karena terlalu malas mengerjakan skripsi.
"Si artis top kita dari angkatan 2011, idola kakak-adik kelas yang tidak berprestasi semasa kuliah. Sekarang jadi juru bicara bangunan. Gila, gila," kata Dito membanggakan Giandra. Giandra cuma bisa senyum-senyum menerima celotehan masa lalu teman-temannya.
"Makanya, waktu kuliah itu dibuat bersenang-senang. Jangan sok idealis. Biar jadinya seperti aku," kata Giandra sombong.
"Ini dia yang aku tunggu. Kesombongan seorang Giandra dewasa," celetuk Farid sambil menepuk-nepuk pundak Giandra berkali-kali. Teman-temannya penasaran dengan apa yang dikerjakan Giandra sebagai seorang publik relasi perusahaan konstruksi terbesar itu. Dengan santai Giandra menceritakan hal-hal yang umum mengenai pekerjaannya.
Begitu pula dengan mereka, saling menceritakan tentang kehidupan yang tidak sesuai ekspektasi setelah lulus kuliah. Diantara teman satu angkatannya, hanya 2 persen yang tetap menjalankan menjalani misi sebagai seorang pegiat sastra. Meski sedikit, teman-temannya mempertahankan seni teater, menciptakan karya berupa puisi maupun fiksi. Diluar itu, teman-temannya melintasi jalur ilmu yang mereka dapatkan ketika kuliah. Termasuk Giandra sendiri.
Dito, teman dekat Giandra menjadi pegawai bank. Ada yang hanya menjadi ibu rumah tangga, ada yang menjadi pegawai kantoran biasa, ada yang tetap sibuk sebagai aktivis diiringi usaha kecil-kecilan. Namun yang paling banyak berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia di lingkungan rumah mereka.
Beberapa teman Giandra masih mempertahankan rambut gondrongnya. Giandra tidak bisa seperti mereka, rambutnya harus cepak karena tuntutan pekerjaan. Agar tetap terlihat keren, Giandra memilih potongan rambut model pompadour. Sebenarnya ia masih ingin memiliki rambut panjangnya. Banyak yang menilai, kharismatiknya semakin bertambah ketika rambutnya gondrong.
"Hei, Gi, tambah keren saja kamu. Sudah lupa sama matkul disini? Sampai pindah haluan begitu," kata temannya yang merangkul dan menepuk dada Giandra. Giandra menanggapinya dengan senyuman ketika tahu siapa yang menyapanya terlebih dahulu.
"Lebih penting isi perut daripada isi otak, bro," kata Giandra bercanda membuat temannya tertawa.
“Setuju sama kamu, bro. Sesuatu yang dipaksakan justru memberatkan kita mencapai sesuatu itu. Kebetulan bertemu kamu, ini. Hasil karyaku."
Buku bersampul burung-burung kecil dan sebuah kertas berbentuk pesawat nuansa itu tertera nama C. Haris, nama penulis buku itu tertera manis di atas sampul bukunya. Giandra tersenyum, sedikit ada rasa iri di dalam dirinya. Aku juga bisa sepertimu, batinnya berucap.
Hubungannya dengan Haris semasa kuliah dulu cukup bersaing. Temannya satu ini dulunya adalah rival Giandra dalam kelas penulisan prosa. Cerpen-cerpen pendeknya selalu menjadi favorit. Walaupun Giandra adalah mahasiswa yang kenyang dengan titip absen, tetapi untuk mata kuliah ini adalah pengecualian. Giandra tidak pernah absen di kelas penulisan prosa, bahkan ia akrab dengan dosennya saking semangatnya ia ingin berkarya.
"Aku salut denganmu, bro. By the way, terima kasih bukunya. Aku pernah dengar wawancaramu di radio lokal tentang buku ini. Kamu memang layak jadi penulis tenar," puji Giandra kepada Haris.
"Sama-sama, bro. Kamu tahulah kualitasku. Mana karyamu?" sindirnya pada Giandra. Giandra hanya terkekeh.
"Tidak akan tercipta, Ris. Sudah lupa. Aku juga sudah bangun dari mimpiku."
"Ah, begitu. Aku rasa akan tercipta, mungkin belum. Jadi aku anggap aku yang menang sekarang."
Mereka dulu pernah berjanji pada diri mereka sendiri jika akan mewujudkan mimpi mereka menjadi penulis jikalau lulus nanti.
"Tentu saja. Aku acungi jempol untukmu. Kalau boleh tahu, hasilnya bagaimana? Banyak pundi-pundi dolar tidak, dari profesimu?"
Haris tertawa kecil. "Sedikit, Gi. Cuma kalau lagi laris manis, bisa langsung nomplok tuh dolar," kata Haris terang-terangan.
Giandra menang. Tentu saja hidupnya lebih sejahtera dari Haris. Dia bangga akan dirinya sendiri.
Dito tiba-tiba melompat ke kedua orang yang terlibat percakapan itu. "Acaranya sudah mau dimulai. Ayo masuk."