Di tengah hiruk-pikuk pagi hari pusat kota Surabaya, kantor Xpress Advertising tidak mau kalah hiruknya. Satu per satu karyawan bergaya modis namun formal memulai aktivitas di kantor periklanan mereka.
Niana melambai sekilas pada Giandra yang mengantarnya berangkat kerja. Langkahnya tenang, berirama. Heels abu-abunya yang berdetak di lantai. Cocok dengan rok abu-abu selutut serta atasan warna kuning lemon. Ia menyusuri lobby penuh layar televisi, dan naik ke atas tangga lantai 2.
Niana masuk ke ruangan nyamannya, disambut semerbak wangi pengharum apel yang manis. Diliriknya tumblr kosong warna hijau muda diatas mejanya. Seharusnya ia membawa pulang dan mengisinya dengan kopi, namun ia melupakannya sehingga botol kesayangannya itu bertengger di mejanya meminta diisi kopi.
"Mbak, pak bos menitipkan ini," tutur Bowo, rekan kerja Niana yang baru bergabung dengan perusahaan periklanan itu beberapa bulan yang lalu.
"Terima kasih, Wo." Niana menerima dokumen itu dengan tangan terbuka. Membaca laporan-laporan atasannya untuk pekerjaan di awal hari memang menjenuhkan, namun Niana harus mengerjakannya karena menyangkut kinerjanya sebagai seorang asisten manajer divisi hubungan masyarakat.
Niana langsung membalik halaman laporan itu ke sebuah titik tanda tangan pertanda mendapat izin dari bosnya. Tanpa berlama-lama, Niana menghampiri meja rekannya untuk membicarakan tentang persiapan presentasi kepada kliennya yang akan bekerja sama dengan perusahaannya. Alurnya memang seperti itu. Pekerjaan Niana adalah mengeksekusi ide dari atasannya dan membereskan semua urusannya. Apabila ide disetujui pihak klien, Niana dan timnya akan menindaklanjutinya.
Niana langsung menelepon kliennya dari perusahaan Biskuit Coklat melalui telepon kantor di samping mejanya.
"Pagi, Mas Eko. Ini saya Niana. Iya, sudah kami kerjakan. Kami akan ke kantor Anda setelah makan siang untuk membahas konsep yang harus dipersiapkan."
"Pagi, mbak Niana. Wah, itu yang kami tunggu. Mbak Niana makan siang di kantor saya saja. Sekalian bareng-bareng tim saya."
"Terima kasih atas tawarannya, Mas. Tapi saya sudah ada janji makan siang dengan teman-teman disini."
"Sayang sekali. Ya sudah kalau begitu, kapan-kapan kita harus makan siang bersama."
"Boleh, Mas. Sampai jumpa nanti," suara ramah Niana terdengar segar didengar. Memiliki pencitraan ramah kepada semua orang bagi Niana itu penting. Dengan begitu ia mampu membuat rekan kerjanya nyaman melibatkan obrolan dengannya. Meski tidak semua orang menganggap itu adalah taktik yang baik, tetapi Niana punya banyak persediaan telinga baja untuk menutup omonga tidak enak tentang dirinya.
Bagi perempuan seusianya, menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan kantornya bukan sesuatu yang baru. Meski hidup di tengah tradisi urban, gosip menggosip tentu masih melekat di bilik perkantoran. Lingkungan sosial di kantornya tidak semuanya positif memandang keahliannya. Masih ada beberapa rekannya menganggap jika Niana berhasil menduduki posisi asisten manajer karena kecantikannya, karena bosnya menyukai Niana, dan masih banyak lagi.
Mungkin itu alasan dia tidak mau terjebak dalam asmara sesama rekan kantor. Selama enam tahun bekerja di sana, Niana merasa bahwa terjebak asmara di satu kantor akan semakin menghambatnya naik jabatan.
Niana beranjak dari duduknya dan menuju pantry kantornya. Kopi belum ada di mejanya membuatnya tidak tenang.
Niana tidak terlalu suka meminta OB membuatkan kopi untuknya. Dia lebih suka meracik sendiri. Alasannya, Niana tahu porsi yang pas untuk kopinya. Tapi jauh dari lubuk hatinya, Niana takut ada yang meracuni minumannya. Mengingat banyak rekan kerja yang tidak suka dengannya. Siapa tahu, kan?
Pikirnya, hanya ada OB di pantry, ternyata ada orang lain disana.
Satria, rekan kantornya dari divisi lain sedang berdiri menunggu ceret airnya mendidih. Secangkir kopi yang menunggu disiram air panas itu telah diam manis diatas deck bar dapur. Pria bertubuh sedang itu menuangkan air panas ke dalam cangkirnya. Kepalanya menoleh sedikit pada Niana dan tersenyum menyapa.
"Mau buat kopi, Ni?" tawar Satria. Niana mengangguk, sambil berjalan perlahan mendekati Satria lalu menuangkan bubuk kopi hitamnya ke dalam cangkirnya. Satria merebut cangkir Niana secara paksa.
"Kamu duduk saja. Aku yang buatkan. Sekalian sama punyaku. Tinggal tuang saja, kok."
Niana membiarkan Satria menuangkan kopi itu ke dalam gelasnya.
"Silahkan," ujar Satria tersenyum lebar.