Agamotrop

Takiyara Tayee
Chapter #8

Beruntun(g)?

"Betul, mbak Radmila. Anda bisa mulai kerja minggu depan. Gaji Anda sesuai UMR Kota Surabaya. Lalu ada tunjangan kesehatan dan transportasi lima ratus ribu per bulannya. Tetapi untuk menjadi pegawai disini ada persyaratan lainnya. Anda harus menahan ijazah asli, atau membayar uang pendaftaran sebagai pengganti ijazah. Jika Anda keberatan, kami tidak memaksa. Anda bisa menolak kami. Tapi kalau Anda setuju, maka Anda harus memilih."

Radmila layu lagi. "Kalau biaya pendaftarannya berapa?"

"Lima ratus ribu rupiah, mbak. Bagaimana? Apa setuju? Calon pekerja yang sebelumnya menolak. Akhirnya dia pergi tanpa mendapat pekerjaan lagi."

Radmila menggigit kuku, bimbang. Lima ratus ribu? Ia tidak punya uang sebanyak itu.

Menahan ijazah atau membayar uang? Radmila pun berpikir keras. Jika ia meletakkan ijazahnya, sangat beresiko. Ijazah baginya harga mati dan tidak bisa diberikan kepada sembarangan orang. Bisa jadi ijazahnya tidak kembali dengan utuh atau raup begitu saja. Jika membayar uang, maka ia tidak perlu repot-repot memikirkan barang berharganya. Toh ia akan mendapatkan uang dari gajinya berkali-kali lipat. Dan yang terpenting, ia ingin bekerja. Penantian selama tiga tahun tidak pernah bergabung dengan perusahaan menjadi faktor Radmila menginginkan jalan pintas itu. Mungkin cara seperti ini ia bisa bekerja tanpa menggantungkan diri kepada kenalan orang dalam.

"Saya hanya punya uang dua ratus ribu. Apa bisa saya bayar sisanya setelah bekerja nanti?"

"Tidak bisa, mbak. Harus dibayar penuh.”

Radmila pun melirik kakak lelakinya yang sedang berbaring sambil bermain ponsel. "Baik, Pak. Akan segera saya bayar."

"Terima kasih mbak. Kami akan hubungi lagi untuk job desk selanjutnya. Silahkan datang ke alamat ini pukul 8 pagi. Nanti Anda akan bertemu rekan-rekan kerja Anda."

Tanpa banyak basa-basi, Radmila mendapat pinjaman uang berkat bantuan mas Arwin.

Radmila senangnya bukan main. Akhirnya ia diterima kerja. Akhirnya ia bisa bekerja di kantoran sebagai staf administrasi. Pekerjaan yang tidak perlu sering-sering keluar kantor. Radmila menerawang, alamat kantor yang diberikan Pak Hasan tadi. Ia seperti tidak asing dengan daerah sana. Tetapi Radmila terlalu bahagia, segera ia mengabari ibunya tentang ini.

“Ibu, aku diterima kerja di tempat tadi!” seru Radmila mengejutkan ibunya yang sedang berbaring di kasur tidur sambil membaca artikel di internet ponselnya. Ibu Radmila otomatis memeluk anak bandelnya itu dengan penuh sukacita.

🌼🌼

Niana bersama teman-temannya sepakat mendatangi sebuah klub malam di pusat kota Surabaya usai pulang kerja. Sebenarnya itu bukan tempat yang asing bagi Niana dan temannya. Mereka sering ke sana. Sejak Niana kuliah pun juga sering datang ke tempat itu. Semenjak menjalin hubungan dengan Giandra, Niana sering mengajak Giandra juga.

Mereka selalu datang dengan keadaan sukacita. Tempat yang mereka katakan adalah tempat yang nyaman untuk melepas penat, kali ini justru disambut kelabu oleh Giandra. Ia tampak tidak bersemangat bergabung dengan teman-teman Niana.

Sebelum berangkat ke klub, Giandra membawa pulang sebuah ransel pemberian Pak Adi. Atasannya mengatakan, uang tiga puluhan itu untuk Giandra.

Giandra kalut. Selama tiga tahun bekerja di sana, biasanya ia menerima sebatas angka satuan. Kali ini berbeda. Angka tiga puluhan dengan mudahnya ia terima. Belum gaji pokoknya. Belum tunjangan lainnya. Siapa yang tidak bahagia menerimanya. Tetapi, kenyataannya berbanding terbalik dengan perasaan Giandra saat ini. Kegelisahan justru membendungnya.

Pundaknya disentuh perlahan, namun karena pikirannya kosong. Giandra sedikit terlonjak.

"Sejak dari kantor, sampai disini, kamu diam saja. Tidak seperti biasanya. Ada apa, Gi?" tanya Niana sambil mengelus rambut Giandra yang halus itu. Giandra menggeleng.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya lelah mengurusi pekerjaanku."

"Aku tahu itu. Tapi kita sudah disini. Ayo kita bersenang-senang," rayu Niana. Giandra tersenyum lebar dan mengamit pinggang Niana yang berdiri di sampingnya.

"Tentu saja kita harus bersenang-senang."

Di luar kegelisahannya, Giandra harus bersikap seperti biasanya. Lagipula tarian kecil Niana cukup menarik perhatiannya di bawah gemerlapnya ruangan penuh lampu dan suara musik EDM yang memekakkan telinga.

Tubuh jangkung Giandra tidak sengaja menyenggol orang dibelakangnya. Senggol menyenggol memang sudah biasa di dalam sana, hanya saja terkadang orang-orang yang saling menyenggol itu otomatis ingin tahu siapa yang mereka senggol.

Lihat selengkapnya