Agamotrop

Takiyara Tayee
Chapter #3

Senangnya Ia

Air kulkas dirumah Radmila mengalir cukup banyak. Ini diakibatkan salju-salju pendingin yang semakin menebal. Untuk menghilangkannya, maka kulkas itu harus dihempaskan tanpa listrik supaya salju es-nya mencair. Alhasil, salju es itulah yang menjadi air kulkas tumpah kemana-mana.

Setidaknya sebulan sekali Radmila harus membersihkan salju es itu dari kulkasnya. Biasanya ia membiarkan kulkasnya mati seharian, baru bisa mencair dan dibersihkan. Selesai memasak nasi, Radmila meraih kain pel dan mulai membersihkan lantai sekitar kulkas yang digenangi air.

"Rad, hari ini kamu tidak ada pesanan, kan?" tanya ibu sambil membawa baskom berisi sayuran hijau segar siap dicuci. Radmila mengangguk.

"Iya, bu. Lagi Radmila tutup hari ini," ujar Radmila tanpa memberitahu alasannya.

"Kamu tuh aneh. Jualan kok libur seenaknya sendiri. Harusnya konsisten, Rad. Kalau tidak konsisten buka-tutup jualannya, pembeli jadi malas mau berkunjung lagi," omel ibunya dimulai. Radmila tidak menanggapi hal tersebut. Ia sibuk memeras kain pel diatas ember kosong untuk memindahkan genangan air itu.

"Nanda tadi cerita ke Ibu. Katanya kamu harus ke sana. Ada walk interview di sebelah kantornya. Ikut ya Rad, mungkin saja rezeki." Ibunya mengeluarkan catatan kecil di kantong dasternya yang bercorak rainbow.

Radmila membaca alamat yang diberikannya. Di daerah Sepanjang, Sidoarjo. Cukup jauh dengan lokasi rumah Radmila. Meski Radmila bersitegang dengan Bu RT, tetapi Radmila berusaha bersikap baik kepada anaknya yang digadang-gadang sukses itu. Ia mencoba untuk menuruti permintaan ibunya.

"Posisi lowongannya jadi apa, bu?"

"Jadi marketing katanya."

Seketika syaraf Radmila tegang saat ibunya menyebutkan kata 'marketing'.

"Bu, sudah berkali-kali Radmila bilang ke Ibu. Radmila paling tidak mau jadi marketing. Radmila tidak mau kerja di lapangan. Radmila maunya kerja di ruangan yang duduk manis. Radmila tidak mau berdiri lama-lama sambil menawarkan produk ke orang yang akan mengabaikan Radmila sepanjang hari," bantah Radmila sembari menghentikan pekerjaannya.

"Kamu tidak bersyukur sekali, Rad. Ibu sudah usaha cari info lowongan kerja tapi malah kamu tolak seperti ini. Terus kamu kapan kerjanya?"

"Radmila pasti kerja, Bu. Tapi bukan sekarang. Radmila tidak mau membuang waktu untuk bekerja di tempat yang tidak bisa membuat Radmila nyaman."

"Kalau kamu cari kerja yang membuatmu nyaman, buat perusahaan sendiri saja! Tidak usah ikut orang. Jangan seenaknya sendiri, Rad. Tidak ada pekerjaan impian. Yang ada itu gaji impian. Jabatan impian."

"Terserah Ibu mau anggap seperti apa. Radmila tidak mau datang. Percuma datang jauh-jauh. Sayang uang bensinnya."

Ibunya masih merajuk anaknya. "Rad, kalau jadi marketing itu modalnya cuma satu: bisa jualan. Bisa promosi. Kamu bisa jualan kopi susu, tandanya kamu bisa jadi marketing, bukan? Lagipula, jadi marketing tidak pandang bulu. Semua pendidikan bisa masuk. Tidak butuh lulusan khusus."

"Radmila tidak mau."

"Bandel sekali sih, Rad. Kamu ini harus bisa mencontoh kakakmu. Mereka berusaha bertahan meski pekerjaan mereka bukan pekerjaan impian."

"Kalau kasus mbak Reny sama mas Arwin berbeda. Mereka punya koneksi orang dalam."

Ibunya tidak menjawab karena benar adanya. Sayuran hijau segar itu dicucinya bersih. "Jurusan kuliahmu itu susah cari kerjanya, Rad. Betul kata Bu RT, kalau dulu kamu pilih lulusan ekonomi, pasti sudah kerja sekarang seperti Nanda," nadanya terdengar sumbang. Radmila tidak terima.

"Ibu, jangan kaitkan pendidikan dengan nasib. Pendidikan itu Radmila pilih sendiri. Nasib itu Tuhan yang menentukan. Radmila pasti akan buktikan ke Ibu kalau Radmila bisa."

Ibunya acuh terhadap ucapan Radmila. Mungkin sudah lelah karena Radmila terus menerus membantahnya. Padahal, Ibu Radmila ingin melihat anaknya keluar setiap pagi dan pulang di waktu petang mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Ibunya tidak ingin Radmila menjadi sepertinya yang berkutat di dapur dan halaman rumah. Usia Radmila masih muda, Radmila harus mencari pengalaman pekerjaan supaya dapat merasakan kemerdekaannya sebagai wanita karir. Namun Radmila adalah anaknya yang paling bandel, keras kepala. Ibunya hanya bisa mengelus dada, mencoba untuk bersabar menghadapi anak gadisnya ini.

🌼🌼

Sederhana, alasan mengapa Radmila menutup pesanan di hari efektif seperti ini. Ia punya janji dengan Pinot, teman kuliahnya yang akhirnya berhasil ia hubungi.

Dengan polesan wajah yang terlihat natural, Radmila menunggu pukul 1 siang untuk bisa bertatap muka lewat video call Line. Ia telah mempersiapkan pertanyaan yang selama ini ingin ia tanyakan kepada Pinot. Momen ini adalah momen yang paling ditunggu Radmila.

Saat video calling dari Pinot berbunyi, Radmila terlonjak-lonjak kesenangan. Ia berdehem dan membuang wajah cengengesannya di depan kamera.

Lihat selengkapnya