“Sudah, aku temani bicara," ujar Giandra tegas tanpa ragu.
"Tidak mau!"
Radmila tetap memberontak. Dirinya tidak mau terlihat lemah di depan Giandra. Tetapi ia tidak bisa melawan. Seratus delapan puluh dua senti melawan seratus enam puluh dua senti, jelas kalah seratus enam puluh dua senti karena lebih kuat menyeretnya.
Mobil Giandra melaju menuju rumah Radmila. Sepanjang perjalanan, mereka sama-sama diam. Radmila sesekali meneteskan air mata, lalu diam lagi.
Giandra menepi di sebuah toko kelontong, lalu menyuruh Radmila membelikannya rokok. Radmila tampak keberatan tetapi ia tetap melakukannya. Sementara Radmila membelikannya rokok, Giandra menyelipkan uang ke dalam tas kecil Radmila. Itu murni uang dari gajinya. Bukan uang dari yang itu. Tak lama, Radmila kembali dan memberikannya kepada Giandra.
"Dengar-dengar, kamu jualan kopi?" tanya Giandra membuka percakapan setelah lama berdiam diri selama separuh perjalanan. Radmila mengangguk pelan. “Betul.”
"Sejak kapan kamu jualan kopi?"
"Baru buka sekitar 4 bulan yang lalu. Daripada dirumah nganggur. Aku inisiatif untuk buka usaha sendiri."
"Seharusnya aku dapat testimoni dari kopimu, Rad. Biasanya teman yang baik seperti itu,” sindirnya.
"Kita teman baik? Kalau teman baik, biasanya membantu teman yang kesusahan," sindir Radmila balik. Giandra mendadak mengingat kejadian ketika ia meninggalkan Radmila di tengah malam bersama tukang ojek.
"Hei, Rad. Sudahlah. Aku mencoba menebus kesalahanku hari ini. Aku rela mengantarmu sebagai permintaan maafku. Kalau aku jahat padamu, kubiarkan kamu masuk ke dalam sana." Giandra mengerakkan tangannya meluncur ke bawah mengisyaratkan sesuatu.
Radmila tidak mau membahasnya. Ia hanya mengangguk sekilas. "Bagus. Kamu merasa itu adalah kesalahan. Bagus. Aku tidak perlu repot-repot mengataimu."
Giandra menekuk bibirnya. Masih tetap dingin.
“Jualannya di mana?”
“Cuma via online saja. Belum punya modal untuk buka kedai.”
Giandra mengangguk kecil, lalu teringat sesuatu. “Di kantorku akan ada bazar di minggu kedua nanti. Kamu mau jualan disana?”
“Ya mau, mas. Bayar berapa stannya?”
“Sekitar lima juta. Lalu nanti hasil penjualanmu dibagi 50:50 denganku. Bagaimana, deal?”
Radmila membelalakkan matanya pada kakak kelasnya itu. “Dapat uang darimana aku segitu, mas? Dari hasil jualan? Tidak, tidak jadi! Terima kasih atas tawarannya.”
Giandra tertawa keras. “Rad, Rad. Dipancing begitu saja sudah ngegas. Aku bercanda. Nanti aku sisakan stan untukmu. Itu acaraku. Jadi aku bisa memberikan tempat untukmu. Gratis."
Radmila berubah cengegesan sambil meninju lengan Giandra. “Mau, mas. Mau.”
Sambil menyetir, Giandra menelpon salah satu kawannya.
"Halo? Dinda, stan bazarnya sudah penuh? Oh, belum. Stan tidak jadi itu kuambil untuk adikku. Jangan dikasih orang. Aku kasih nomormu, biar dia hubungi kamu. Makasih Dinda."
Giandra menyebutkan nomor telepon Dinda, rekannya yang bertanggung jawab mendata stan bazar di acara hari Sepuluh November kepada Radmila.