Sudah jelas-jelas itu Radmila, adik kelasnya yang tadi sempat duduk berjajaran dengannya di Gedung Cak Durasim. Sudah jelas adik kelasnya sedang kesusahan mendorong motor mogok dengan seorang bapak-bapak ojek online saat ia dan teman-temannya melintasi jalanan sepi itu.
Dito dan Farid sudah berseru untuk menyuruhnya menghentikan mobilnya dan memberi tumpangan pada Radmila. Tetapi Giandra hanya bilang, "sudahlah. Dia akan baik-baik saja." Tanpa ada rasa ingin menolong Radmila.
Bagaimana bisa ia berpikir sekeras ini? Bahkan Radmila bukan urusannya. Yang membuatnya kepikiran adalah ketika Radmila melihatnya, dan ketika Dito mengatainya gila. Apa ia gila betulan?
Dan kini, kejadian itu membuat Giandra tidak bisa tidur dan membuatnya terkantuk di sela waktu kerjanya senggang.
“Bagaimana, Gi? Di luar aman?” ujar Pak Adi membuat Giandra melek lagi.
Pak Adi memperhatikan orang-orang proyek dari tenda utama. Wajahnya puas dengan kinerja orang-orang proyek beratribut safetywear yang tampak gigih mengerjakan bangunan bertingkat tinggi di daerah Wiyung itu. Tentu saja ia bangga, proyek ini merupakan proyek besar karena telah direncanakan dua tahun yang lalu namun baru bisa terealisasi sekarang. PT Mika yang memenangkan tendernya dan berwenang untuk mengerjakan proyek bangunan rumah susun itu.
“Aman, Pak. Saya sudah mengirimkan surat kepada media tentang apa yang kita lakukan. Warga sudah menerima bantuan dari kita.”
“Baguslah kalau begitu. Nanti malam aku transfer uangnya. Pokoknya kamu berhasil membuat citra baik, aku akan rajin transfer kamu.”
Giandra tersenyum tipis. “Beres, Pak. Terima kasih.”
“Sama-sama, Gi. Kamu kapan menikahi pacarmu?”
“Masih belum tahu, Pak. Saya inginnya tahun depan. Tapi sepertinya kami belum mempersiapkan dengan matang.”
“Tidak apa-apa. Kumpulkan dulu uang untuk biaya hidupmu di masa depan. Oh iya, minggu depan kita terbang ke Jakarta. Membicarakan itu. Tolong persiapkan perjalanannya.”
“Baik, Pak,” ujar Giandra tunduk.
Giandra tahu apa yang sedang ia lakukan. Namun ia tidak berani membantah. Pak Adi terlalu baik padanya, Giandra menganggap Pak Adi layaknya ayahnya sendiri. Yang bisa ia lakukan hanyalah menjaga kepercayaannya terhadap Pak Adi. Dan mengerjakan apa yang diperintah Pak Adi.
"Pagi mas Gi, " sapa segerombolan wartawati yang mengejar Giandra yang hendak masuk ke dalam kantornya.
"Hei, pagi. Ada yang bisa dibanting? Eh, dibantu maksudku."
"Ah, mas Gi cakep-cakep tapi bercandanya kuno. Mas Gi, katanya ada press release mau dikasih ke kita ya?"
"Iya, tapi bentar dulu ya. Kalian ada liputan tidak, nanti siang?"
"Aku ada."
"Aku kosong." Mereka bersahutan di antara Giandra.
"Oke. Yang kosong bisa merapat ke sini ya. Aku mau bagi-bagi press release-nya karena mungkin baru dapat ACC dari atasan nanti siang. Nanti aku kabari via WhatsApp."
"Wah, ketemu mas Gi lagi dong!"
"Santai, kalian bakal ketemu aku sesering mungkin. Asalkan berita kalian benar dan bagus untuk kami."
"Siap laksanakan, mas Gi!"
"Mas Gi, kita sudah tiga tahun kerja bareng tidak pernah foto bersama," minta si wartawati rambut pendek itu pada Giandra.
"Yasudah sini, ayo foto-foto. Mumpung belum sibuk."
"Rek, sini-sini, foto bareng mas Gi!" Wartawati itu memanggil yang lainnya. Giandra berdiri di tengah diantara enam wartawati yang heboh dan kegirangan bisa foto bersama Giandra. Giandra makin tersanjung. Apa iya dia setampan ini sampai teman-teman wartawan ingin foto bersama dengannya?