Radmila sudah berbelanja membeli bahan baku yang dibutuhkan untuk meracik kopi. Pukul delapan pagi Radmila mulai sibuk meracik karena ia menargetkan 50 botol yang hendak ditawarkan. Bubuk kopi itu dituangkan ke dalam baskom dan akan dilumatkan menggunakan mixer seperti membuat adonan kue. Radmila menghitung sesui takaran kopi, menuangkan air ke dalam baskom besar. Mengaduk bubuk kopinya menyatu dengan gula dan air. Lalu dicampurkan pula dengan susu murni. Setelahnya sudah siap, Radmila memindahkan kopi susu itu ke dalam botol bermerk “Cheersup”. Dengan bantuan corong botol, air kopi itu mendarat mulus di dalam botol cantik itu.
Ditatanya produk itu ke dalam dus sterofoam yang akan ia jual di bazar puncak acara lomba hias kampung dalam rangka memperingati Hari Sepuluh November. Botol-botol itu tersimpan rapi di dalam sterofoam pendingin agar kesegaran kopinya tetap bertahan.
"Assalamualaikum, s'Pada!" seru seorang wanita dengan suara nyaring mengetuk pagar rumah Radmila.
"Rad, ada tamu itu! Ibu lagi goreng ikan," seru ibunya dari balik kompornya menyuruh Radmila.
Dari suaranya, Radmila langsung tahu suara siapa tamu itu. Tamunya kali ini harus dihadapi secara elegan oleh Radmila, bersiap-siap saja jika Bu RT mengungkit-ungkit tentang kasus penipuan yang baru saja dialaminya.
"Waalaikumsalam bu RT. Ada perlu apa?" jawab Radmila penuh senyuman. Wanita 50 tahunan itu ikut sumringah saat kehadirannya disambut oleh Radmila. Ekspresi palsu tampak terpancar dari wajah kedua wanita itu.
"Eh, ada mbak Radmila. Tidak berangkat kerja, mbak?" tanya Bu RT menemukan dengan nada menyindir.
Pertanyaan telak. Wanita yang menjabat sebagai ketua RT tempat Radmila tinggal ini menjadi salah satu orang yang mencibirnya di luar sana. Kenyinyirannya merata, semua orang sering menjadi bahan ghibahnya. Radmila sudah hafal, pasti ia akan mendapat pertanyaan telak seperti itu dari bu RT.
Radmila berusaha menenangkan diri sendiri untuk tidak terpancing. "Ini, saya mau ke Gedung Dharmawanita. Saya ikut bazar."
“Oh, ikut bazar. Masih lanjut jualan mbak?”
“Masih dong Bu RT, bisa saja Ibu mah,” jawab Radmila masih dengan senyum sumringah palsu.
"Saya tidak pernah lihat mbak Radmila jualan soalnya. Oh iya, kapan hari itu Nanda ada informasi lowongan kerja lagi. Yang ini sepertinya cocok untuk mbak Rad. Jadi customer service. Kalau tidak salah, harus bisa bahasa Inggris, mbak. Tinggi badannya juga minimal 165 cm."
Penjilat. Kriterianya tidak ada yang bisa kuraih! Saatnya mengeluarkan jurus andalan!
"Makasih atas infonya. Bu RT baik sekali. Dari tadi, saya lihat Bu RT sekarang terlihat lebih segar ya. Agak gemuk pipinya. Ini, dagunya juga berlipat, double chin. Sering makan pisang ya bu?"
Kena, kau!
Bu RT langsung memegang wajahnya, lalu dagunya, raut mukanya berubah menjadi masam. Bu RT tidak suka jika ada yang mengatainya gemuk. Prinsipnya, meski sudah berumur, Bu RT ingin dianggap ‘lebih langsing’ di antara ibu-ibu lainnya. Lalu ia pura-pura tersenyum tidak peduli. Radmila paham itu, ucapan itu menjadi senjata andalan untuk menyerang balik kenyinyiran Bu RT.
"Bisa saja mbak Rad. Mungkin karena tidak pernah ketemu jadi kelihatannya saya agak gemukan," katanya tersenyum masam.
"Tidak, bu. Saya lihat area dagu ini lebih gemuk dari biasanya. Coba lihat punya saya, double chin-nya tipis. Kalau saya memang tidak bisa gemuk, mau makan sebanyak apapun juga susah gemuk. Keturunan langsing-langsing soalnya. Kalau kurus begini kan, pakai baju apa saja pantas," ujar Radmila sombong dengan porsi banyak. Tubuhnya agak ditegap-tegapkan seperti hendak menunjukkan bahwa memang tubuhnya langsing seperti model.
Kena lagi, kau!
Bu RT tidak menanggapinya lagi, sudah kalah. Radmila mengira jika Bu RT sudah mulai kesal. Bibir Bu RT mbecungik. Sesuai dengan tujuan awalnya, Bu RT menyodorkan selembar kertas undangan.
"Ini saya mau antar undangan kerja bakti buat Pak Syaiful."
"Baik, bu RT. Terima kasih."
"Iya mbak Rad. Sama-sama. Saya pamit pulang dulu, mbak. Assalamualaikum." Nada bicaranya tidak seramah seperti awal, nadanya terdengar datar.