Dua tahun kemudian.....
Hawa dingin merasuki kulit-kulit halus Radmila ketika ia terbangun dari tidurnya. Kamar ber-AC dengan perpaduan desain marmer dan kayu membangun suasana kamar terasa sunyi dan membuat betah siapapun penghuninya. Sentuhan lampu warna gold yang terang membuat kamar tidur itu bernuansa rustik.
Radmila terlonjak akibat suara nyaring ponselnya terus menerus berbunyi. Radmila segera mencari ponselnya. Ponselnya langsung menyala ketika melihat wajah Radmila. Radmila semakin heboh saat mengetahui tanggal waktu yang tercantum di layar ponselnya. “Apa? Jam setengah 8? Aku bakal terlambat ini!”
Segesit mungkin Radmila membersihkan tubuhnya dengan air dan sabun aroma lemon, lalu mengenakan pakaian tanpa memilih, yang penting rapi. Radmila membiarkan rambutnya terurai tanpa perlu dirapikan. Dipikirannya hanya bagaimana caranya bisa sampai kantor tepat pukul 8 pagi.
Radmila meringis ketika berpapasan dengan Pak Andi, atasannya yang telah datang lebih dahulu darinya. Pak Andi menyipitkan matanya. "Jam berapa ini, Rad?"
"Maaf, Pak. Maaf." Radmila tetap berjalan tertunduk tanpa alasan tepat di depan Pak Andi, bosnya. Pak Andi memang suka sekali berkeliling sebelum jam kerja dimulai.
Dengan wajah penuh peluh akibat berlarian di kantor yang lumayan besar itu, Radmila menyekanya dan duduk di meja rapat, bergabung dengan rekan setimnya.
Seperti biasanya, Radmila mengikuti rapat pagi. Ada beberapa penulis yang harus segera ditangani. Bersama timnya, Radmila ikut berkelompok ke dalam kubu timnya.
Membahas tentang perkembangan naskah, promosi, pendapatan yang diperoleh pada penjualan per minggu. Intinya, membahas tentang perkembangan. Jika ada kendala, tim yang terdiri dari asisten editor, bagian pemasaran, bagian keuangan, dan bagian umum akan mencari solusi.
"Rad, bisa undang penulis-penulis ini besok? Untuk rapat progres," minta Dimas, bagian pemasaran yang bergabung di timnya.
"Bisa, Mas Dimas. Aku hubungi habis rapat ini. Penulis C bagaimana perkembangan pasarnya, mas?" tanya Radmila balik.
"Keren, Rad. Promosi kita berhasil. Pasarnya bagus. Penulis A dan penulis B masih dibawah penulis C. Rencana kita mau buka merchandise untuk cetakan kedua."
"Bagus, mas Dimas. Mas Samsul, kenaikan harganya berapa persen kalau sama merchandise?"
"Paling tidak naik 35% karena merchandise yang diajukan Dimas disini adalah kaos dan gantungan kunci. Kaosnya juga bahan premium. Perhitungannya sudah aku pertimbangkan, Rad."
"Mas Samsul memang top," puji Radmila. Samsul yang dipuji tersenyum lebar menanggapinya.
Selain sebagai asisten editor, Radmila juga berkewajiban untuk memantau divisi lain untuk mengetahui pencapaian yang dikerjakan bersama penulisnya. Meski tidak mendetail, Radmila cukup paham dengan informasi yang diberikan oleh timnya. Karya penulis telah berhasil dikonsumsi publik atas kerja keras tim. Radmila tidak hanya bangga, dirinya nyaman untuk berada di posisi ini.
Penerbit Paramedia bukan penerbit besar, tetapi cukup dikenal karena pernah melahirkan beberapa penulis top. Dalam satu setengah tahun, Radmila dituntut cepat belajar di kantor penerbitannya. Keluar masuknya karyawan yang membuat Radmila harus serba bisa sebagai karyawan yang terbilang baru. Dibandingkan dengan Dimas, Samsul, pengalaman mereka jauh lebih banyak ketimbang dirinya. Tetapi, Pak Andi membutuhkan seseorang yang ringan tangan di posisinya. Dan Radmila bisa mengisi posisi itu.
Terra mendorong sisir hitamnya ke arah meja Radmila. Radmila tersenyum lebar kepada Terra yang sangat pengertian padanya. Sambil berkaca pada ponselnya, Radmila menyisir rambutnya diam-diam selagi Pak Andi tidak melihatnya.
“Sudah bikin blurb yang diminta mbak Rina?”
“Sudah. Gara-gara itu aku tidur malam.”
“Sudah kuduga. Sebaiknya kamu segera kirim email ke mbak Rina. Kemarin dia Whatsapp aku, katanya takut kamu tidak menyelesaikannya hari ini. Sepertinya naskahnya itu penting untuk mbak Rina,” jelas Terra sambil memeriksa kuku-kuku cantiknya.
Kebiasaan, kepala editor Radmila selalu mencurahkan kecemasan pekerjaannya kepada rekan kerja yang lain. Jika Terra yang harus menyelesaikan deadline, Radmila-lah yang dihubungi Rina untuk mengungkapkan hal yang sama. Sekarang, berubah menjadi sebaliknya.
“Aneh sekali. Biasanya mbak Rina kasih naskah ke aku dua minggu sebelumnya. Bayangkan, kemarin sore baru dikasih. Terus harus selesai hari ini. Ya ampun, tebalnya 220 halaman. Jelas saja dia khawatir aku tidak menyelesaikannya. Terlalu pendek jangka waktunya,” keluh Radmila sambil menyisir rambutnya yang kusut sebagian.
“Naskahnya bagus, tidak?” tanya Terra ingin tahu.