Radmila menemui Giandra di sebuah swalayan besar. Mendadak ia mengubah tempat bertemunya dengan Giandra karena ibunya mengirimkan sejumlah daftar belanjaan yang harus dibeli. Alhasil, Giandra mengikuti Radmila.
Wajah Giandra tiada hentinya tersenyum. Tangannya sangat cekatan mengambil barang-barang yang ingin dimasukkan ke dalam keranjang belanjaan Radmila.
Radmila agak risih akan sikap manis Giandra yang tidak pernah ia lihat. Penyebabnya karena suasana hatinya senang mendapat kabar bahwa naskahnya benar-benar masuk ke dalam daftar terbitan di penerbit Paramedia.
Radmila berjinjit hendak meraih kotak susu formula tulang, namun Giandra dengan mudahnya menyahut kotak susu formula tulang itu lalu memasukkannya ke troli Radmila.
"Mas Gi sehat?"
"Sehat walafiat, dong. Hari ini mau makan apa, Radmila? Makan pizza, yuk. Oh iya, aku tidak menerima penolakan, oke?" ajak Giandra ramah. Sungguh tidak biasa untuk Radmila.
Giandra membungkus tangan kirinya ke dalam saku jaket jinsnya dan mendorong troli Radmila sigap. Tak sadar jika Radmila menaikkan alis penuh keheranan.
Giandra dan Radmila berjalan ke Pizza Hut di seberang swalayan sambil membawa barang belanjaan Radmila yang cukup banyak.
Giandra memakan potongan pizza-nya menggunakan jari-jari panjangnya dan melahap tanpa ampun. Berbeda dengan Radmila yang berhati-hati memotong pizza aroma daging sapi itu menjadi beberapa bagian.
"Sewaktu mas Gi ke kantor untuk membicarakan kontrak, aku sarankan jangan banyak membantah. Turuti saja maunya kontrak itu. Perlu diingat, karirku di sini jadi taruhannya," ujar Radmila membuka pembicaraan. Giandra mengangguk cepat.
"Kamu bilang apa sampai mereka akhirnya setuju dengan idemu?"
"Naskahmu bagus, dan layak diterbitkan."
"Tidak, itu terlalu biasa. Kamu pasti mengatakan sesuatu yang luar biasa. Apa?"
Radmila mengunyah sesaat, lalu mengatakan bahwa ingin menjual imej Giandra menjadi prestasi. Giandra tidak antusias, tetapi berusaha memahaminya.
"Mengapa harus seperti itu?"
"Mas Gi akan selamanya dikenal sebagai pelaku kasus suap. Tetapi tidak semuanya bisa bangkit dengan keterpurukan itu. Itu yang jadi kelebihanmu."
Giandra tersenyum kecil, antara lega dan khawatir. Ada-ada saja kejutan dari setiap ucapan Radmila.
"Mungkin memang jalanku seperti ini. Kebodohan kasusku itu akan mengiringiku kemana pun aku pergi. Tapi, aku akan buktikan jika aku berprestasi. Makasih ya Rad, sudah mempercayaiku. Aku janji tidak akan mengecewakanmu."
"Aku nggak bilang aku percaya kamu," bantah Radmila yang membuat Giandra mencubit punggung tangan kurus Radmila gemas.
"Kamu kurus banget, nggak ada dagingnya ini! Makan yang banyak, Rad. Pesan pizza lagi, ya? Habiskan kalau perlu satu nampan itu."
"Nggak, mas. Nggak. Aku sudah kenyang."
Giandra nekad melambaikan tangannya ke arah pramusaji yang belum juga menoleh kepadanya. Radmila mencoba menurunkan tangan Giandra. Saat Radmila menoleh, tampaklah dua orang melintas sambil bergandengan tangan dari arah luar menuju tempat duduk yang kosong.
Jantung Radmila mendadak berdebar-debar lebih kencang. Ia memicingkan matanya, takut salah lihat. Karena penasaran, Radmila menghampiri dua orang yang diduga dikenalnya.