Radmila mengetuk pintu ruang rapat itu yang sudah dihuni beberapa orang di dalamnya. Suasana hening di ruangan berukuran sedang itu menimbulkan semerbak wangi manis buah apel saat Radmila baru masuk di ambang pintu. Radmila berandai-andai, jika nanti ia punya ruangan sendiri, ia ingin memajang aroma ruangannya seperti ini, menyegarkan pikiran.
Radmila tidak pernah bersikeras terhadap sebuah naskah seperti ini di hadapan Rina, terutama dengan Pak Andi. Radmila benar-benar nekat mengajukan naskah yang sudah jelas ditolak kepala editornya hanya karena ingin menolong kakak kelasnya yang menyebalkan itu.
Pak Andi, Rina dan Dimas memperhatikan Radmila yang seorang diri maju memulai rapat penting tersebut dengan awalan menjabarkan alasan naskah yang sudah ditolak itu.
"Ada apa dengan naskah itu, Radmila? Saya ingin tahu dari kamu," ujar Pak Andi dengan gaya tenangnya. Pak Andi memang bukan tipe bos yang suka berbicara lantang.
"Begini, Pak. Naskah mas Gi, ehm, maksud saya naskah Giandra ini punya potensi besar kalau kita terbitkan. Naskahnya menarik, Pak. Sayang sekali kalau tidak kita terima."
"Alasan Rina menolak naskah itu karena apa?"
Rina berdehem, menata kertas-kertasnya yang sudah rapi di atas mejanya, lalu menangkupkan kedua tangannya.
"Naskah milik Giandra ini memang bagus. Tapi tidak ada marketnya, Pak. Reputasinya jelek di kalangan masyarakat. Dia masih menjadi tahanan kota. Sayang sekali jika kita nantinya ikutan di cap jelek. Teman editor dari penerbit lain juga bercerita kalau Giandra mengajukan kepadanya, dan tentu saja ditolak karena persoalan ini."
Pak Andi manggut-manggut sambil mengelus dagunya. Radmila cukup terpukau bila Rina ternyata sudah mengetahui tentang Giandra sedetail itu.
"Lantas, mengapa kita harus rapat seperti ini?"
"Saya ingin naskah Giandra diterbitkan, Pak. Saya yakin naskahnya bisa laku di pasaran karena karyanya yang bagus akan tertutupi dengan reputasinya."
"Radmila, jujur sama mbak. Kamu dibayar berapa sama Giandra?"
"Tidak, mbak. Jujur, aku tidak dibayar Giandra sepersen pun."
Rina dan Radmila saling bertatapan, tampak ada sesuatu yang ingin diutarakan Rina tetapi tertahan ketika Pak Andi menyahut terlebih dahulu.
"Dari mana tolak ukurmu kalau naskah itu bisa laku di pasaran?"
"Dari orisinalitas naskahnya, Pak. Kita bisa menjadi penerbit yang anti mainstream menerbitkan karya unik seperti milik Giandra."
Rina tampak tidak setuju, dirinya menoleh ke Pak Andi yang menyiratkan wajah mempertimbangkan.
"Tidak bisa semudah itu, Rad. Penulis seperti Giandra akan menimbulkan polemik besar di kalangan masyarakat. Nama kita pasti akan ikut terseret-seret. Banyak yang menghujat kelakuan Giandra sejak dia tertangkap sampai saat ini. Bisa bayangkan bagaimana sulitnya kita akan mencari massa? Kita harus mempertimbangkan nilai jual naskah kita," tutur Dimas sama-sama tidak setujunya dengan Rina.
"Tapi mas Dim, kita masih punya cara lain. Kita bisa menggunakan kekuatan media untuk membelokkan ke arah positif."
Dimas diam saja. Rina tidak menjawab, ia meneguk air putihnya untuk menenangkan suaranya yang terdengar serak. Sementara Radmila mengusap-usap punggung tangannya yang keringat dingin akibat AC ruangan yang terasa dingin.