"Dasar tidak tahu malu! Seharusnya kamu tidak pantas membuat karya. Karena kamu itu pecundang!" seru seorang lelaki yang tubuhnya lebih kurus dibandingkan Giandra. Giandra tidak membalas, orang-orang di sekitar Giandra berteriak ketakutan.
"Apa aku merugikanmu?" tanya Giandra kepada lelaki asing yang berusaha mengatur napasnya.
"Tentu saja! Gara-gara kamu tidak becus jadi karyawan, ayahku di penjara dan kehilangan pekerjaannya! Orangtuaku cerai, keluargaku hancur!"
Lelaki itu tampak tidak bisa mengontrol emosinya sehingga mencoba menghantam Giandra lagi. Tetapi Giandra berusaha menangkis tangan lelaki itu dengan mudah. Kedua tangan lelaki itu diikat erat-erat oleh tangan Giandra yang lebih kuat. Mereka bertatap muka penuh benci.
"Kamu anaknya Pak Adi?" pertanyaan Giandra tidak segera dijawab oleh pemuda itu. Pemuda itu kalah dari Giandra.
"Aku turut prihatin dengan kondisi keluargamu sekarang. Tapi bukan berarti kamu menyalahkanku. Ini kesalahan bersama, dan kami menerima ganjarannya masing-masing."
"Enak saja berkata seperti itu. Andaikan kamu dan anak buah lainnya pintar mencari celah, tidak akan seperti ini jadinya! Kamu tidak pandai menyembunyikan rahasia namanya!" gerutunya masih menyalahkan Giandra. Giandra tidak tahu harus menjawab apa. Lelaki ini akan terus mengoceh jika diladeni.
"Mas Gi!" seruan Radmila membuat Giandra lengah. Lagi-lagi hantaman di perutnya mendarat tajam. Orang-orang di sekitar itu pun menarik lelaki asing yang menyerang Giandra terdahulu. Sementara Giandra tidak kembali menyerang. Dia menahan amarahnya, daripada harus berurusan dengan hukum lagi.
"Kita bawa ke kantor polisi saja, Pak," ujar Pak Yono yang menahan tangan lelaki asing itu.
"Jangan, Pak. Saya kenal dia. Ini cuman salah paham saja," kata Giandra mencoba membela lelaki asing yang menyerangnya.
"Tapi dia menyerangmu tiba-tiba. Perbuatannya tidak patut," protes rekan Pak Yono yang ikut mengamankan lelaki asing itu.
"Lepaskan saja, Pak. Dia teman lama saya. Saya juga tidak terluka."
Lelaki asing itu masih menatap Giandra tajam, dirinya digiring keluar oleh polisi dan orang-orang di sekitar situ. Menghilang dari hadapan Giandra.
Giandra masih syok atas serangan laki-laki itu. Giandra ingat, Pak Adi, atasannya pernah bercerita tentang anak bungsunya yang masih sekolah menengah kala itu. Giandra mengira, lelaki tadi adalah anak bungsu Pak Adi.
Giandra tidak menyangka, lelaki itu tampak frustasi saat meninjunya. Pukulannya sangat lemah. Hanya menggertak, menurut Giandra. Giandra pernah mendapat hantaman lebih parah dari ini ketika di dalam penjara.
"Mas Gi tidak apa-apa?" tanya Radmila khawatir.
"Aku baik-baik saja. Maaf sudah membuat kegaduhan."
"Tidak apa-apa apanya? Itu langsung lebam begitu dagunya?" Radmila tampak panik melihat lebam di area dagu dan bibir Giandra. Segera ditariknya Giandra menuju ruangan kantornya.
Radmila memberikan plastik berisi es batu yang dilapisi kain serbet merah pada Giandra. Tangan Giandra tidak segera menerima plastik itu, dirinya sibuk melipat tangannya di depan dada.
Radmila menyodorkan lagi plastiknya ke arah Giandra, kali ini Giandra menggeleng cepat.
"Aku tidak bisa mengompres sendiri. Tanganku sakit tadi kena pukul," kata Giandra berbohong.
Radmila mengeluh. Ditempelkannya asal-asalan plastik berisi es batu itu tepat di bagian dagu Giandra yang lebam.
Wajah Giandra yang awalnya menghadap sebelah kiri, kini berpindah ke sebelah kanan. Radmila sengaja memalingkan wajah Giandra ke arah yang berlawanan dari hadapannya karena sedikit tidak ikhlas membantu Giandra.
"Aduh, Rad. Begini banget sih. Mana ada perawat jahat begini?" omel Giandra sambil mencoba melirik wajah Radmila namun tertahan.
"Jangan berharap lebih, aku bukan perawat."
Giandra tertawa kecil. Menikmati dinginnya es batu yang mencoba menyembuhkan luka memarnya.
"Dia temanmu?"
"Bukan. Dia anaknya atasanku waktu di kantor."
"Kenapa bisa menyerangmu?" tanya Radmila masih penasaran. Giandra menceritakan ulang ucapan anak lelaki tadi tentang keluarga Pak Adi kini.
"Dia bilang aku biang permasalahan tersebut. Padahal ini bukan hanya aku, tapi ayahnya juga berperan penting dalam kasus ini. Ah, sudah. Tidak boleh dibahas. Itu rahasia."
Radmila membatin, siapa juga yang membahasnya?
"Bagaimana menurutmu, acara tadi keren, bukan?"
"Iya, keren banget. Kata teman-teman penjualan, income-nya lumayan. Tidak terlalu buruk."
"Jelas. Tadi saja, ada peserta yang bilang, sejak kuliah sudah lama mengikutiku di Instagram. Dia pikir aku memang Selebgram. Aku memang pantas jadi Selebgram ya, Rad? Mereka bolak-balik memujiku tampan."
Radmila menekan plastik itu agak keras hingga membuat Giandra berseru kesakitan.