Septian, teman kencannya yang akan ditemui ini sebenarnya sudah lama menyukai Radmila.
Mereka bertemu ketika Radmila mengantar kopi ke kantor konsultan pajak tempat Septian bekerja. Awalnya Radmila menolak karena Septian adalah sosok yang misterius. Pada akhirnya Radmila mulai membuka hatinya pada Septian akhir-akhir ini karena Septian tidak menyerah begitu saja. Meski tidak ada perasaan yang berubah selain berteman.
Faktor utamanya, tentu saja untuk mengalihkan pikirannya dari Pinot. Septian juga pekerja kantoran sepertinya. Setidaknya, Radmila memiliki seseorang yang tingkat kesuksesannya tidak terlalu jauh beda.
Urusan mencintai, Radmila percaya, rasa itu akan tumbuh dengan sendirinya. Asalkan sering berkomunikasi.
Septian membawa Radmila ke kafe Level Up Sky Lounge yang terletak di pusat kota Surabaya. Kafe yang mengedepankan konsep makan malam di outdoor di atas atap hotel ini menjadi tempat yang asyik.
Pemandangan kota yang indah dari atas sana menyegarkan mata Radmila yang berkutat dengan tulisan-tulisan kantornya.
"Hari ini namaku masuk dalam kandidat dipromosikan. Aku ingin merayakannya dengan kamu," kata Septian manis. Radmila tersenyum manis.
"Semoga pengumumannya kabar baik, ya."
"Thanks, Rad."
Separuh pertemuan kedua pasangan ini didominasi oleh cerita tentang kehebatan Septian. Radmila salut dengan Septian yang bercerita tentang perjalanan karirnya. Septian pernah difitnah temannya menyembunyikan berkas penting dan memeras uang pada rekannya. Tetapi terbukti, Septian tidak melakukannya. Menyedihkan, tetapi berbuah manis. Begitu anggapan Septian.
"Bagaimana dengan kabar orangtuamu, Rad?"
"Mereka baik. Tidak secerewet dulu sewaktu aku masih jualan kopi."
"Kamu kenapa nggak melanjutkan usaha kopimu?"
"Aku nggak sanggup berjualan sambil bekerja."
"Rad, kalau kamu nikah sama aku. Aku lebih suka kamu jualan daripada harus jadi pegawai. Biar aku yang cari uang."
Radmila tersedak ketika Septian tiba-tiba membicarakan tentang pernikahan.
"Kamu tidak apa-apa?"
"I.. iya aku tidak apa-apa. Tadi kaget aja kamu ngomongin pernikahan tiba-tiba. Tidak biasa, gitu," kata Radmila meringis. Septian tersenyum lalu menyambar kedua tangan Radmila.
"Aku nggak cari pacar, Rad. Aku cari istri." Wajah Radmila semakin memerah. Mengapa rasanya berbeda? Mengapa perasaan senang itu tiba-tiba membubcah di waktu seperti ini? Apakah ini wajar?
"Sep, bukannya tidak mau. Tapi apa kita nggak saling kenal lebih dekat lagi?"
"Tentu saja aku mau. Mulai detik ini, kita terikat sementara, Radmila. Sampai kita tentukan tanggal pernikahan kita." Mata Septian membuat Radmila salah tingkah karena Septian memiliki garis mata yang tajam dan memikat.
"Iya, Sep. Aku mau."
Dengan mudahnya Radmila mengiyakan permintaan Septian.
Kedua pasangan itu saling bercengkerama. Momen manis tersebut telah memecah hati Radmila yang tadinya beku.
Septian telah memesan kamar di hotel itu. Awalnya Radmila ragu, tetapi dengan manisnya Septian membujuk Radmila.