Memberanikan diri untuk menelpon Giandra pasca kejadian semalam, Radmila telah mempersiapkan kata-kata permintaan maafnya. Namun teleponnya tidak juga tersambung.
Radmila meneleponnya untuk kedua kalinya. Cukup lama, akhirnya teleponnya itu diangkat.
"Apa, Rad?"
"Pagi mas Gi. Bagaimana kabarnya?"
"Apa-apaan nanyain kabar. Buruk, by the way. Sekarang ada polisi di depan rumahku. Mengawasiku beberapa hari ke depan. Takut aku berbuat onar lagi."
Radmila merasa bersalah mendengar kabar Giandra yang nampaknya benar, memburuk.
"Aku mau mampir ke rumahnya mas Gi. Aku mau kirim siomay," kata Radmila terdengar kalem. Giandra diam saja di seberang sana.
"Sekalian aku mau menemui keponakanku. Rumahnya dekat sama rumahnya mas Gi."
"Jangan hari ini, Rad. Besok-besok saja."
"Mas Gi jahat banget!"
"Tuh, kan. Keluar aslinya. Kalau aku baik, kamu jatuh cinta sama aku."
Percakapan di telepon itu terdengar panjang. Yang satu memaksa untuk mengantar makanan. Yang satu malas bertemu.
Alhasil, kedua orang serba ribet itu bertemu di taman kompleks perumahan Giandra.
Radmila dan Giandra duduk bersama dalam diam. Sesekali Giandra menengok ke sampingnya, masih menemukan satu polisi yang berdiri agak jauh mengawasi Giandra.
"Mana siomaynya, aku lapar," rujuk Giandra melirik kotak makan yang dipangku Radmila. Tanpa banyak bicara, Radmila menyodorkan kotak makannya dan membiarkan Giandra mulai melahapnya.
"Maafkan atas kejadian kemarin."
"Iya, sudah dimaafkan dengan ini." Giandra mengacungkan siomay yang katanya buatan Radmila. Radmila tersenyum tipis.
"Rasanya kayak siomay di dekat kantormu. Kamu beli, ya?"
"Sembarangan. Aku buat sendiri. Aku ada fotonya lagi masak."
"Iya, iya. Ya kali, kan. Cewek zaman sekarang kan, suka tuh pakai trik begitu. Tapi, jujur. Ini memang enak," kata Giandra memuji dengan mulut penuh. Radmila mengangguk paham. Sambil menunggu Giandra makan, Radmila mengamati anak-anak kecil yang terlihat bahagia berlarian ke sana kemari di waktu siang hari. Panasnya Kota Surabaya di hari Minggu tidak menghalangi anak-anak kecil itu bersahutan, bermain kejar-kejaran di hari libur mereka.
"Kamu sungguhan mau menikah sama laki-laki seperti dia yang kemarin? Sebelum kamu tahu tentang dia?"
"Tentu saja aku mau. Aku sudah tua. Aku ingin menikah dan punya keluarga bahagia."
"Wah, wah. Kamu sudah dewasa sekarang, Rad."
"Apa maksudmu. Memangnya aku terlihat seperti anak kecil?"
"Iya. Kamu cengeng. Di telepon, kamu nangis," kata Giandra santai. Radmila menyikut perut Giandra pelan. Tetapi Giandra mengaduh berlebihan. Lama-lama Giandra lelah sendiri.
"Berhati-hatilah dengan laki-laki, Rad. Jangan sembarangan menerima seseorang yang melamarmu tiba-tiba. Kamu harus mengenalnya terlebih dahulu. Kamu juga harus bisa segera move on jika lelaki itu menyakitimu. Ingat, time is running. Tinggalkan atau tertinggal."
"Aku tahu. Maaf. Kemarin memang aku terlalu bahagia. Belum pernah ada seseorang yang memintaku seperti itu. Tahu, kan mas? Aku dilamar, diajak nikah di waktu malam-malam sunyi. Sungguh, seperti impian."
"Tapi setelah tahu aslinya, rasanya pahit. Kamu jangan berpikir pendek. Pikir jangka panjangnya. Kurang-kurangi dekat dengan pria macam dia. Nggak baik buat kamu." Giandra menggerak-gerakkan garpu yang menahan siomay di ujungnya.