Radmila sontak menengok ke arah sumber suara yang baru saja mengutarakannya tersenyum lebar tanpa tedeng aling-aling.
Refleks Radmila menampar pipi kiri Giandra lemah hingga Giandra memekik kesakitan.
"Aduh, Rad. Kok malah ditampar, sih? Sakit tahu! Mana pas sama lukaku, lagi."
"Salah sendiri bicara ngawur. Mau ngajak nikah kayak mau ngajak makan siang saja! Memangnya menikah itu bisa diutarakan segampang itu?"
"Terus kamu maunya bagaimana? Kubawakan bunga? Lalu diajak ke tempat yang bagus. Lalu aku bersimpuh dan memberikan cincin padamu, begitu? Tidak bakal kulakukan. Aku hidup di dunia nyata. Aku tidak mau mendramatisir keadaan."
"Bukan, bukan itu. Kamu tidak seharusnya mengucapkan itu padaku."
"Kenapa tidak boleh? Aku single, kamu juga single. Aku nyaman sama kamu. Aku merasa cocok sama kamu. Kamu juga cocok sama aku. Mau nunggu apalagi?"
"Kamu sendiri yang menasehatiku untuk tidak mudah menerima ajakan pernikahan seperti ini. Sekarang malah kamu yang melakukannya."
Giandra menegakkan tubuhnya, menghadap Radmila tanpa berpaling sama sekali. Fokus menatap mata kecil itu penuh keseriusan.
"Sadar nggak sih, Rad. Kita hampir bertemu setiap hari. Berkabar setiap hari. Dengan perhatianmu, kamu selalu mengomeliku saat aku keras kepala. Kamu sering mengingatkan aku, selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik untukku. Kamu tidak menjauhiku meski kamu tahu keadaanku. Kamu tahu? Kriteria pendamping yang aku cari adalah yang mau menerimaku, mau mendukungku, mau menegurku, dan mau berbahagia bersamaku. Aku sudah bilang ke kamu. Aku ingin memelukmu."
Ucapan Giandra membuat hati Radmila terenyuh. Tetapi, tidak semudah itu mengatakannya. Tidak semudah itu menjalankannya. Radmila siap menikah, namun ia belum siap seratus persen jika Giandra yang dinikahinya.
"Aku ingin bertunangan dahulu denganmu. Aku akan menikahimu jika masa hukumanku selesai."
Kali ini Radmila yang bergerak agak menjauhi Giandra.
"Aku belum bisa mengiyakan itu mas. Aku butuh waktu," jawab Radmila lirih.
"Silakan pergunakan waktumu untuk menimbang-nimbang. Kamu masih punya waktu sepuluh bulan untuk memikirkannya."
Radmila memainkan buku-buku jarinya cemas. Sesungguhnya ia ingin menjawabnya langsung. Tapi, Radmila belum siap patah hati. Radmila takut akan tersakiti lagi.
Tiba-tiba Giandra mencium punggung tangan Radmila secepat kilat. Radmila tidak bisa mengelak, namun Giandra berkali-kali menciumi punggung tangannya cepat-cepat.
Radmila tidak ingin menarik tangannya. Ia justru merasa senang. Namun ia terlalu malu untuk mengakuinya. Alhasil, Radmila memukul pundak Giandra perlahan, pertanda tidak membolehkan Giandra mencium punggung tangannya.
"Apa aku masih bisa bertemu denganmu seperti biasanya setelah aku mengutarakan tentang perasaanku?"
"Tentu saja. Kita harus tetap saling berkomunikasi."
"Baiklah," ada perasaan lega di dalam diri Giandra usai melalui masa menegangkan menyatakan hal serius. Giandra menepuk pahanya berkali-kali mengusir rasa gugupnya.
"Sudah malam juga ternyata. Pulang jam berapa kita? Masih mau di sini sama aku?" mintanya sambil melirik jam tangannya.
"Masih mau di sini." Radmila menjawab malu-malu.
Giandra tertawa puas. "Oke. Aku juga masih mau di sini. Aku sebenarnya sudah tahu jawabanmu. Kamu mengulur waktu karena ingin membuatku penasaran. Ya, kan?"
"Kata siapa? Gede rasa sekali."
Giandra dan Radmila saling memicingkan mata, lalu tertawa lepas. Menertawai diri mereka sendiri.
Tidak ada yang lebih indah saat itu ketika Radmila merasakan kehangatan Giandra yang serba apa adanya. Blak-blakan, suka mengejek, bersikap manis yang tidak biasa. Tidak banyak menuntut meski Giandra sedang meminta hatinya. Giandra tetap sama seperti sebelumnya.
Haruskah ia bersama Giandra? Bagaimana jika Giandra akan pergi seperti yang lain?