Agamotrop

Takiyara Tayee
Chapter #33

Meroket

"Mas Dimas, mikrofonnya sudah di cek?" tanya Terra pada Dimas. Dimas mencoba mengecek mikrofonnya.

"Cek cek cek. Oke Ter!"

Di acara kali ini, semua persiapannya tidak memanggil vendor. Semua dipersiapkan sendiri oleh pegawai Pak Andi. Pak Andi menuntun pegawainya untuk bisa berkreasi sendiri.

Giandra menghampiri Pak Andi dan menyalami pria paruh baya itu.

"Sore, Pak Andi. Saya Giandra."

"Sore, Giandra. Dari mana saja kamu? Saya tuh tidak suka kalau ditunda-tunda seperti ini. Jangan diulangi lagi, ya." Pak Andi langsung menegur Giandra akan persoalan tempo hari.

"Kamu mengingatkan saya dengan teman SMA saya. Mukanya persis seperti kamu. Namanya Dave. Persis mancung-mancungnya, mukanya agak sipit-sipit tapi Jawa asli begini."

"Pak Andi kenal sama ayah saya? Nama ayah saya juga Dave dan sekolahnya di SMA 5."

"Nah! Benar, kan? Saya juga alumni SMA 5. Kamu ini Gi, kok bisa terjerumus dalam lingkaran seperti itu. Bapakmu sedih lihat kamu, nak."

"Iya, Pak. Saya kurang canggih melakukan kasus suapnya."

Kedua pria itu terkekeh di tengah persiapan wawancaranya. Pak Andi bolak-balik menepuk pundak Giandra.

Sementara Giandra sesekali melirik Radmila yang tampak diam saja di seberang sana, juga meliriknya. Lalu segesit mungkin membuang muka.

Lampu telah menyorot meja duduk, mikrofonnya telah sempurna. Kamera telah terpasang dalam tiga titik. Giandra dan Pak Andi duduk bersama di kursi panas itu.

"Gi Julian nama panggungnya. Giandra Julian nama panjangnya. Apa kabar, Gi?"

"Baik, Pak Andi. Terima kasih mengundang saya ke acara ini."

"Saya mau tanya, kok bisa Anda masuk penjara?"

"Bisa, Pak. Saya menerima suap dari pelaku korupsi, hehe."

"Kronologinya bagaimana? Saya heran, Anda masih muda. Tapi sudah berani menerima suap-suap itu."

Giandra menarik nafasnya perlahan, menemukan Radmila masih berdiri di tempat itu. Radmila tersenyum padanya.

"Saya cuma bawahan yang melaksanakan perintah bos. Bos inginnya meraup untung banyak. Ada kepentingan di sana. Saya bekerja untuk melancarkan semuanya, termasuk pekerjaan tidak baik itu."

Pak Andi manggut-manggut mengerti. "Lalu, di dalam novelmu ini. Anda menampilkan tokoh perempuan. Yang mana, kita semua tahu, diskriminasi perempuan untuk memimpin sesuatu itu masih dianggap remeh. Ada unsur feminisme di dalam novel ini. Ada unsur religi. Dan banyak sekali sarkasme yang menurut orang lucu, ada yang menganggap itu cerminan kenyataan. Bagaimana itu bung?"

"Kalau saya memilih tokoh perempuan itu karena saya bercermin dari ibu saya. Saya belajar banyak dari ibu saya yang rela berkorban untuk mencari nafkah demi saya. Unsur religi bagi saya adalah wajib dihadirkan dalam semua tulisan. Karena berdakwah melalui tulisan sebenarnya adalah sesuatu yang paling mudah selain berdakwah secara lisan. Sarkasme yang ada di novel X, semua murni dari kenyataan yang dialami teman-teman saya."

"Bagaimana tanggapan Anda saat orang-orang tidak suka dengan latar belakang Anda?"

"Tidak ada tanggapan. Saya hanya bisa mendengarkan dan membacanya. Jujur Pak Andi, saya tidak pernah membuka aplikasi sosial media saya. Semua yang mengelola murni tim saya. Anda boleh bertanya kepada editor saya. Saya membaca sedikit saja komentar orang-orang, saya bisa tidak makan seharian."

"Wah, berpengaruh sekali, ya. Lantas apa penyemangat Anda saat begitu banyak cemooh dari orang-orang?"

"Sebagian orang ada yang tidak suka, sebagian ada yang suka. Yang suka inilah menjadi penyemangat saya. Saya sibuk membuktikan dengan berkarya sementara mereka yang membenci saya akan tetap menjadi penonton keberhasilan saya."

Pak Andi lagi-lagi terkagum dengan ucapan tengil Giandra.

"Politik perkantoran. Mengapa Anda mengangkat tema tersebut?"

Lihat selengkapnya