Bab 2
Sebetulnya, Inaura bukan wanita penuntut. Begitu aku menikahinya, ia pun mengajakku pulang ke rumahnya, bahkan sambil bergurau mengatakan untuk apa Kamu bekerja? Nanti uangmu Kauhambur-hamburkan untuk wanita-wanita yang mengerumunimu? Akhirnya, aku pun menuruti sarannya untuk tidak bekerja. Bukankah ia bisa menghidupiku dari hasil bertanam bunga anggrek? Belum lagi usaha kos-kosan, buket bunga, sayuran, dan sahamnya di pengusaha katering.
Maka, sejak kami menikah, aku belum pernah memberinya uang belanja dan ia tidak pernah meminta. Seharian aku mengurung diri di kamar bermain game, ia tidak marah. Seolah merasa rugi membuang waktu hanya untuk marah. Semenit waktunya bahkan sedetik pun dihitung. Kulihat ia melakukan zoom meeting, ternyata ia menjadi dosen pada waktu-waktu tertentu secara online.
Mengapa terkejut? Apakah aku tidak diberitahu? Inaura bukan tipikal wanita yang suka kucing-kucingan dengan suami. Apa pun disampaikannya kepadaku. Jangankan hal yang telah terjadi. Hal yang masih dalam angan, belum tertuang menjadi program jangka pendek, sedang, dan jangka panjang, ia inginnya menceritakan semuanya kepadaku. Akan tetapi, mana aku mau mendengarkan?
Di hatiku berkecamuk benci dan dendam kepadanya dan aku menikmatinya. Bahwa dulu ketika ia mahasiswa semester akhir yang kukenal ketika kami mengikuti Duta Bahasa, memang benar adanya. Saat itu aku masih SMA kelas XI. Tubuhku yang lebih tinggi membuatku tak ragu untuk menggodanya, secara sopan kukira.
“Nggak ah. Kamu punya pacar. Tidak etis merebut pacar orang,”tolaknya suatu senja ketika tanpa sengaja kami bertemu di lapangan basket. Bukan ia bermain basket maupun penari latar, tapi ia menemani temannya yang latihan sore itu.
“Kok tahu aku punya pacar?”selidikku. Hm…lancang sekali, pikirku. Bukankah seluruh media sosialku sudah kukunci.
“Aku melihatnya dari teman yang berteman denganmu.”
"Hm…aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. 'Bagaimanapun aku lelaki. Aku manusia beruntung karena lahir di bumi patriarki. Aku tentunya tak mau menyia-nyiakan privilege ini. Peduli amat para wanita menuduhku tidak empatik. Tapi, andaikan tradisi mendominankan peran emak-emak, belum tentu Kamu menolak poliandri,' ujarku ketus. Aku kesal merasa ditolak, karena aku belum pernah ditolak wanita."
“Jangan-jangan, ia menolak karena Kamu masih SMA,”Kimon memanas-manasi hatiku. Aku mengangguk sambil berkacak pinggang, menatapnya dari belakang yang seolah berjalan dengan angkuhnya. Hm…awas Kamu, ya. Jangan biarkan bumi membuatku hidup kalau aku tidak dapat menaklukkan Kamu. Gumamku sambil menghentak-hentakkan kaki ke bumi tiga kali.
“Tapi, Kyu,”kata Kimon, ”Bukankah Kamu memang punya pacar?”
“Iya sih. Tapi tahu darimana dia? Kan semua media sosialku kukunci. Ternyata ia ngintip dari temannya yang berteman denganku.” Aku menjawab dengan kesal sambil berkacak pinggang.
“Kalaupun penolakannya itu betul, terasakan bias ya. Seolah sudah berbaur dengan posisi Kamu yang masih SMA kelas XI,”tawa Kimon membuat bara di hatiku berubah menjadi api.
Aku pun belajar dan belajar. Aneka lomba kuikuti, bahkan aku menyabet kemenangan dari beberapa event lomba. Ketika kami bertemu dalam acara pertemuan rutin para Duta Bahasa, kulihat sikapnya ramah kepadaku. Ia sudah lulus kuliah, sudah sarjana dan masih merintis karier sebagai pedagang sayur hasil kebun yang ditanam di paralon, selain hasil sewa kos-kosan warisan orangtuanya yang sudah mencapai 10 juta per bulan, maka tidak mengherankan ketika suatu senja kukatakan kepadanya,
“Nikah yuk,” ia pun tidak menolak. Maka ibunya yang sudah janda itu pun membiayai semua pernikahan kami yang digelarnya dengan biaya tak kurang dari 100 jutaan. Aku tentu saja tidak memberi dana sepeserpun karena memang masih kuliah semester dua
“Busyet, mengapa orangtuanya tidak memprotes? Kan Kamu masih kuliah? Belum kerja?”Kimon keheranan.
“Aku kan ganteng. Bodiku pun bak model,”jawabku sekenanya. Tapi Kimon masih penasaran.
“Tahu sih. Tapi segitunya?”
“Kan anaknya sudah mandiri. Warisannya berupa kos-kosan dengan penghasilan sepuluh jutaan tiap bulan, masih ditambah dengan kesibukannya mencoba bertanam sayuran di pagar rumahnya, menggunakan paralon. Juga ada selada, sawi, kangkung, dan bayam yang ditanamnya. Dan…hasilnya minimal lima jutaan lho. Di atas UMR kan? Hebat nggak?”
“Hebat sih. Lalu, ia tidak minta uang belanja?”desak Kimon yang kujawab dengan gelengan kepala.
“Edan. Kamu menikah dengan manusia atau peri,”seru Kimon memukul punggungku.
Aku hanya tertawa masam sambil menghela napas panjang. Kimon tidak tahu, betapa sakit yang kurasakan. Rasa benci dan cinta teraduk jadi satu. Kalau Kimon menganggapnya peri, aku dianggap apa jika ia tahu bahwa di hatiku ada dendam dan cinta?
Aku selalu mengalami kecemasan andaikan suatu ketika ia membuka-buka media sosialku lalu marah melihatku berfoto mesra dengan aneka gaya busana wanita. Meskipun aku bukan desainer, jika diamati, fotoku dengan puluhan wanita, mereka selalu menggunakan gaya busana berbeda.
“Waow…ini pakai bikini. Kamu kuatkah untuk nggak nyenggol yang nyembul-nyembul itu?” tanya Kimon ketika kutunjukkan foto-fotoku dengan aneka gaya busana wanita.