"Selamat pagi nona... Kau sudah merasa baik?" Cahaya putih masuk ke mataku. Itu cukup menyilaukan aku berusaha mengatur kelopak mataku. Tunggu, ini bukan tempat terahkir yang aku ingat. Ini lebih putih, lebih bersih. Dimana aku?
Seorang suster yang cantik, yang sedari tadi sibuk membukakan tirainya untukku tersenyum. Ia melihatku lekat-lekat. Sepertinya ia tahu aku kebingungan. Senyumnya langsung terpasang. Dia seperti bidadari. Apa mungkin... Aku sudah mati. Baguslah kalau begitu. Semakin cepat semakin baik. Karena kalau aku hidup pun... Apa yang bisa aku lakukan?
"Anda pingsan di pemakaman nona... Sekarang Anda di rumah sakit"
"Aku... Bermimpi? Atau aku sudah mati?" Suster itu menatapku keheranan. Mungkin ia langsung akan mendiagnosis bahwa ada benturan di kepalaku yang menyebabkan otakku sedikit geserĀ or something.
"Tidak nona. Anda di sini, di rumah sakit sekarang. Tuan Lucas yang memerintahkan kami untuk merawat Anda di sini."
Siapa katanya tadi? Tuan Lucas? Siapa? Apakah papi dan mami punya kenalan bernama Lucas? Kenapa tidak pernah menceritakannya padaku?
"Saya harus pergi. Anda butuh sesuatu?" Aku menggeleng. Aku hanya butuh jawaban. Siapa Tuan Lucas? Kenapa ia bisa mengenalku dan berbaik hati membawaku ke rumah sakit ini?
***
"Gadis yang manis, mungil, cantik... Sebastian benar-benar beruntung memiliki putri secantik dia. Tapi bodoh, itu kesalahan terbesarnya, berani bermain api. Sekarang lihat.. Ia terbakar sendiri. Ia dan Lilian. Sekarang, semua berada di bawah kendaliku. Aku. Hanya aku." pria berjaket hitam itu mengintip melalui celah pintu, ia tersenyum miring. Matanya yang tajam hanya terfokus pada gadis yang sedang berbaring kebingungan di dalam sana. Ya, dia sudah menetapkan mangsanya, dan akan segera melahap mangsa itu dengan nikmatnya. Pria itu berjalan pergi dengan seringai yang masih ada di bibirnya.
***
"Selamat datang sayang... ". Wanita paruh baya menyambutku dengan tangan terbuka, ia tersenyum manis dan matanya berbinar. Jujur, aku kebingungan. Seorang supir menjemputku dari rumah sakit, ia berkata bahwa aku sangat beruntung. Setelah kutanya, supir itu hanya tersenyum dan kembali fokus pada jalanan. Mungkin ini yang disebutnya beruntung. Ia mengantarkanku ke depan sebuah rumah mewah. Ralat ini bukan sperti rumah, tapi seperti villa modern di pinggir pantai.Siapa yang bisa tinggal di rumah seperti ini. Bahkan rumah yang dimiliki papi saja masih jauh dari bayangan rumah ini. Ini gila
"Ayo, mari masuk nak."
Aku enggan. Kenapa? aku bukan gadis matre yang akan langsung senang tanpa pikir panjang karena kemungkinan besar aku akan tinggal di sini. Well, setidaknya aku tidak tahu akan jadi apa aku di sini. Mungkin mereka berbaik hati mau menampungku sebagai pembantu atau tukang kebun. Mungkin...
"Maaf Tante... Saya masih--- "