Agatha

agatha d christie
Chapter #7

Still Little Angel

Bukankah dunia itu tidak adil? Ia membiarkanku jatuh cinta pada orang yang tidak bisa aku miliki.

Aku mengetuk kamarnya. Tidak ada suara. Aku mencoba masuk dan tidak ada siapapun di sana. Aku mencari sekeliling dan itu dia. Kak Ethan sedang berada di balkon. Menyandarkan sikunya dan sedikit membungkuk. Aku mulai mendekat. Tidak ada papa di sini.

"Kak..." dan kak Ethan langsung berbalik melihat ku. Ada lebam di sudut bibirnya. Apa ini karena papa? Papa yang melakukannya? Kak Ethan menghampiriku, hanya diam dan berdiri di depanku. Aku mulai menaikkan tanganku. Aku menyentuh lebam itu dengan jariku dan kak Ethan mengernyit kesakitan.

"Aku... Aku akan mengobatimu kak..." kataku saat refleks aku sadar dan menurunkan tanganku dengan segera.

"Tunggu." kak Ethan mencegahku. Ia memegang pergelangan tanganku. Aku melihat buku-buku jarinya terluka, mengeluarkan darah. Sebenarnya apa yang terjadi pada kak Ethan?

"Kau tidak marah padaku? Kau tidak membenciku?" ia memandangku dalam. Seperti ingin menyeruak masuk ke dalam mataku merasakan apa yang aku rasakan.

"Katakan saja dimana kotak obatnya kak." ia memegang tanganku lebih keras dan mendekatkan dirinya padaku. Matanya mendominasi tapi tidak ada belati di sana.

"Yahh.. Hanya sedikit. Aku akan lebih marah jika kakak menghalangiku mengobati itu." Dan ia melepaskan tanganku dengan tersenyum di sudut bibirnya.

"Di laci nomer 2." kak Ethan duduk di tempat tidur dan aku segera ke tempat yang ditunjukkan oleh kak Ethan. Hanya berjarak beberapa langkah dari tempat tidur kak Ethan. Saat aku membuka lacinya aku mencari perban, obat merah, kapas dan aku menemukan sesuatu.

Plester berwarna biru muda dengan gambar Disney di atasnya. Ini adalah plester kesayanganku saat aku kecil dulu.

***

Aku melihatnya berdiam di depan laci. Apa yang ia lihat? Apa aku menyimpan sesuatu yang salah yang akan menyakiti hatinya lagi? Ah kau bodoh Ethan. Kau bahkan tidak mengingat apa saja yang kau simpan dalam lacimu.

Aku berdiri menghampirnya, melihat apa yang ia lihat. Plester itu. Plester yang ia tempelkan di lututku saat aku jatuh. Plester yang berhasil membuatku jatuh hati padanya. Plester yang selalu mengingatkanku betapa baiknya dia.

"Itu plester. Plester milikmu yang kau gunakan untuk mengobatiku. Aku sudah pernah ceritakan padamu kan?" ia mengangguk. Tapi tetap diam. Ia mengambil apa saja yang ia perlukan dan menyuruhku duduk di tempat tidur. Aku menurut. Apapun asal ia tidak membenciku. Tidak memandangku jijik dan marah.

Agatha mulai membasuh tanganku, memberinya obat merah dan menutupnya dengan plester. Sesekali aku mengernyit. Jujur, selembut apapun tangan yang mengobatimu akan terasa sakit jika luka itu tersentuh. Benar kan?

"Apa papa selalu melakukan ini pada kakak?" ia berjalan ke kamar mandi dengan mengambil baskom dan handuk kecil.

"Dulu saat aku masih kecil sekarang tidak lagi." aku rasa ia mendengar jawabanku meskipun Agatha sedangan mengambil air atau apa lah yang ia lakukan di kamar mandi sekarang.

"Lalu kenapa tangan kakak berdarah? Kenapa wajah kakak lebam?" ia kembali dengan mencelupkan handuk kecil itu ke dalam baskom yang berisi air.

"Tanganku terluka karena..." aku tidak yakin menjelaskan padanya. Tapi ekspresinya bertanya-tanya. Ah sial! Kenapa bisa aku selemah ini di depan gadis mungil yang bahkan tidak bisa membunuh seekor semut pun.

"Karena aku membenci diriku. Aku telah melukaimu dan membuatmu sedih bahkan membuatmu membenciku. Jadi aku berusaha meruntuhkan rumah ini dengan tanganku." aku kira ia akan diam, tapi aku salah. Ia tertawa lepas, begitu cantik, begitu natural. Tawa yang sama yang aku lihat beberapa tahun ini. Tawa yang selalu ingin aku lihat dari dekat dan mendengarnya dengan jelas. Tawa yang bahkan aku tidak ingin berhenti untuk mendengarnya lagi dan lagi.

"Dasar kakak bodoh!" dan ia tertawa lagi. Aku tersenyum, aku selalu suka melihatnya tertawa. "Mungkin ini akan sedikit sakit. Tahan ya kak." katanya setelah ia kehabisan nafas untuk tertawa. Ia menempelkan handuk itu ke pipiku. Argh! Rasanya perih dan ngilu. Kak Alex sialan! Tapi aku harus berterimakasih pada kakaku itu. Selain ia berhasil membawa papa pada ku yang dengan senang hati menghadiahkan tamparan untukku, ia juga membawa Agatha padaku. Aku berhutang padanya.

"Jadi... Kita berbaikan?" aku tidak hanya sekedar bertanya. Aku berharap penuh pada pertanyaan itu. Aku tidak bisa lagi sembunyi-sembunyi atau melukainya untuk menahan diriku sendiri.

"Oke. Asal kakak tidak bersikap kasar lagi padaku." itu tidak akan pernah aku lakukan sayang. Tidak akan pernah.

***

"Jadi sepertinya kau berhutang padaku, bocah..." kak Alex bertanya padaku dengan gayanya yang angkuh. Well, sepertinya dia merasa jadi hero sekarang.

"Baik baiklah kak. Aku berhutang padamu. Agatha memaafkanku sekarang. Thanks." aku kembali sibuk merapikan meja kerjaku. Aku akui, mengurus ini semua bersamaan dengan kuliah dan menjadi ketua senat tidaklah mudah.

"Aku sudah bilang padamu. Aku pintar kan. Aku sudah memberimu banyak kebahagian adek kecil. Jangan lupakan itu" kakak masih melipat kedua tangannya dan membusungkan dadanya

"Dan jangan lupakan aku berhutang tinju pada kakak. Oh ya, aku lupa mengucapkan terimakasih karena kakak sudah membawa papa juga masuk ke kamarku saat itu."

"Ahh ya, itu di luar rencanaku bocah. Apa yang papa lakukan?"

"Tidak ada. Hanya menamparku."

"Benarkah? Anggap saja itu bonus."

"Yaaahh yang penting Agatha sudah tidak membenciku lagi. Selain itu aku tidak peduli." aku memasukkan beberapa berkas ke dalam tasku. Sepertinya aku tidak akan tidur lagi malam ini.

"Dasar mabuk cinta!" dan kami berdua tertawa bersama-sama.

"Sudahlah kak. Aku harus ke kampus. Ada rapat panitia sebentar lagi. Aku titip keadaan di sini selama beberapa jam. Nanti kabari aku ya kak." kak Alex hanya mengangguk dan tersenyum lebar. Aku mulai berjalan berlalu pergi. Oh ya, ada satu hal yang aku lupa. Aku kembali ke ruanganku dan melihat kak Alex mulai membaca beberapa berkas.

Lihat selengkapnya