Agatha

agatha d christie
Chapter #8

Devian

Aku tidak pernah bersyukur sebesar ini pada Tuhan. Apa lagi yang aku inginkan,Agatha ada di sampingku dan itu sudah cukup. Meskipun aku harus hidup di jalanan or something, selama ada Agatha aku akan mensyukurinya.

Seperti dulu, ia adalah gadis periang dan seorang petualang. Ia sangat senang mengeksplorasi hal baru, seperti bisnisku misalnya. Beberapa hari ini Agatha sangat membantuku mengurus bisnis kecilku ini, dan aku akui ia belajar sangat cepat. Beberapa kali mau tidak mau aku harus akui bahwa ia lebih memiliki sense untuk mengkoordinir semuanya.

Ia seperti malaikat yang ajaib. Hanya dengan kehadirannya rumah kami seperti surga. Mama sudah mulai sembuh, lebih banyak tertawa dibandingkan mengamuk seperti dulu, dan lebih banyak senyuman di rumah kami karena tingkah konyol Agatha. Seperti mencoba untuk membuat pasta, dan bukan pasta yang ia masak tapi lebih mirip seperti muntahan, atau mengepel lantai karena ia kurang kerjaan dan ahkirnya jatuh masuk ke ember karena aku mengganggunya. Well, aku memang mendapatkan gertakan dari papa untuk hal itu, tapi setelahnya kami tertawa bersama.

Kadang aku suka memandanginya di balik meja, sedang berfikir tentang apapun kertas yang ia sedang pegang. Aku tidak pernah mengerti, bagaimana gadis kecil ini bisa mengganti neraka dengan surga yang begitu nyaman. Seperti cukup dia melangkah, dan semua hal yang bisa dibilang seperti neraka akan berbalik.

"Kakak mau tetap di sana atau kita akan pulang?" ia sudah mengemasi beberapa file yang akan dia bawa pulang. Kau pikir aku memanfaatkanya? Aku berani bersumpah aku sudah melarangnya untuk mengerjakan semuanya itu, tapi ia memaksa. Aku tidak bisa melawan, ada ketertarikan yang kuat di mata gadis itu. Entah kenapa aku merasa lemah di hadapan gadis ini. Aku tersenyum, dan kami berjalan pulang.

***

Mereka berdua berjalan dari kantor kecil. Sangat kecil. Bahkan setiap orang yang berjalan di sana tidak akan tahu bahwa itu adalah kantor Ethan Sandjaya. Aku mendengus kasar. Ia membawa gadisku! Otot rahangku menegang, aku semakin menyipitkan mataku berharap dapat melihat mereka meski sudah berjalan dalam kejauhan.

"Sialan kau Ethan! Kau pikir kau bisa mempermainkanku!?" aku mengepal, darah di nadiku serasa akan meledak. Jika Lucas berfikir akan memberikan gadiaku pada anak ingusannya aku bersumlah akan membunuhnya! Agatha milikku, gadisku, dan akan selamanya menjadi seperti itu!!

***

"Aku tidak bisa hadir sayang..." mata Alluna menatapku sedih. Aku tidak pernah bisa memandangnya seperti itu. Dasar laki-laki sialan! Mau apa lagi ia menghubungiku! Seharusnya aku bisa menemani istriku untuk terapi terahkirnya! Berkali-kali sudah aku katakan bahwa aku akan berikan Agatha, apa maunya?!

"Sayang sekali. Aku berharap kau bisa mendengarkan semua yang dikatakan dokter padaku." Alluna mendesah, putus asa. Tidak tidak... Jangan bersedih ratuku. Akan aku usahakan membereskan laki-laki brengsek ini secepatnya dan akan menemuimu segera. Beberapa saat Kemudian, Ethan dan Agatha berjalan dengan membawa beberapa berkas. Hampir bisa aku pastikan bahwa mereka menikmati apapun yang sedang mereka lakukan. Karena jelas sekali terlihat di garis wajah kedua anak ini.

"Sore pah..." Ethan tersenyum. Senyum yang dulu sempat hilang. Senyum yang dulu tidak pernah bertengger di wajahnya. Kadang aku sangat merindukan bocah itu. Aku membalasnya dengan senyum, dan Agatha memeluk Alluna. Beberapa saat kemudian, mereka sudah masuk dalam kamar masing-masing.

Jujur. Aku tidak pernah bisa membayangkan jika Agatha tidak pindah ke rumah ini. Mungkin sekarang Alluna sudah semakin kurus, dan Ethan masih menjadi pemurung dan pendiam. Bahkan mungkin ia ikut gila bersama mamanya. Gadis ini seperti obat ajaib bagi mereka berdua, tapi seperti duri bagiku. Sial! Karena gadis ini aku harus terus dihantui oleh psikopat gila yang sedang menungguku di ujung sana.

***

"Tidak ada! Aku tidak menemukan apapun!" Alex berteriak putus asa. Aku menghampirinya dan mencoba menenangkannya. Sudah beberapa hari ia terus bekerja mencari pria yang membeli saham itu. Cukup aneh mengingat, identitas dari pembeli saham itu terkesan disembunyikan.

"Kenapa ini menjadi sangat buntu Eire!" oh priaku yang malang... Pria ku yang lembut hati yang mau berurusan dengan hal seperti ini untuk adik tirinya. Aku memelukknya, mendekap tubuh atasnya dan ia menyandarkan kepalanya pada lenganku. Nafasnya berat. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Aku tahu itu.

"Kita keluar. Oke?" mungkin angin dan suasana malam bisa membuatnya sedikit lebih baik. Aku mendorongnya masuk ke dalam mobil. Ia masih nampak berfikir di dalam mobil. Jelas sekali terlihat dari kerutan di dahinya. Oke. Tubuhnya memang di sini tapi pikirannya masih tertinggal di sana. Aku mencoba mengajaknya berbincang dengan apapun yang melintas di kepalaku, dan ia menjawab. Sekadarnya.

"Papa" Alex menggumam

"mm?" aku butuh sedikit pengulangan dari mulutnya, dan Ethan malah menegakkan tubuhnya dan mencoba melihat sesuatu di ujung jalan.

"Eire... Kita ikuti mobil itu." aku hanya mengangguk dengan rasa bingung. Aku memutar arah dan mencoba mengikuti mobil audi hitam itu.

"Kau bisa jelaskan kita sedang mengikuti siapa sayang?" aku bertanya pada Alex tanpa menoleh padanya. Aku terus fokus pada mobil hitam yang berada di depanku. Mencoba sepelan mungkin agar kami tidak terlihat.

"Papa. Aku melihat papaku bersama seseorang."

"Kau pikir papamu bersama pembeli itu?" ia mengendikkan bahunya. "Entah. Aku hanya berfikir aku harus mengikuti mereka." oh Alex sayang. Ia selalu mengikuit intusi dari dirinya.

***

Lihat selengkapnya