Beberapa hari aku sudah menyuruh orang orangku mencari Marco, si pemilik mobil audi hitam itu dan nihil. Alamat yang tertulis di web bukan alamatnya terupdatenya, sialnya ia menghilang seperti bersembunyi dalam semak semak.
Aku memandang keluar jendela. Aku benar benar tidak habis pikir ada hubungan apa papa dan orang yang menurunkannya di pinggir jalan waktu itu? Aku sudah mengikuti papa beberapa hari ini, dan papa tidak bertemu dengan orang itu lagi. Hanya beberapa pembisnis seperti biasanya yang beliau lakukan.
Aku mulai memutar otak. Mencoba menguhubungkan semuanya. Memandangi dunia di luar kaca dan berdiam. Sebuah suara di pintu mengagetkanku. Suara lembut yang aku cintai. Suara yang selalu hadir dimanapun aku membutuhkan orang yang memiliki suara itu. Eire.
Ia masuk ke kantor dengan senyum manisnya, dan tentu saja aku membalas senyuman itu dengan senang hati.
"Selamat pagi sayang." ia berdiri di seberang mejaku dan berhenti di sana. Aku beranjak, ingin menghampirnya tapi meja ini menjadi penghalang kami berdua sekarang.
"Selamat pagi. Kau nampak cantik hari ini." dan ia tersenyum.
"Jadi biasanya aku jelek, begitu maksudmu?" ia berpura pura marah dan memajukan bibir mungilnya itu. Aku hanya tersenyum, dan ia terkikik.
"Belum ada kabar tentang Marco?" dan pertanyaan itu berhasil membuatku menegang kembali. Membuat dahiku berkerut dan Eire tahu artinya itu.
"Sabar. Mungkin sebentar lagi akan ada kabar---" belum sempat ia menyelesaikan kata katanya, telepon di mejaku berdering. Aku dan Eire bertatapan. Beberapa saat kami diam terpaku, aku mengangkat telepon itu, suara di seberang sana sudah cukup aku kenal, yang membuatku terkejut adalah berita yang ia katakan.
"Kami sudah menemukan Marco." beberapa kata di belakangnya sudah tidak tersengar cukup jelas. Hanya satu kalimat itu yang membawa hembusan angin di depanku.
***
"Jadi... Kau kau ingin menikah dengan ku?" aku mengatakan itu terbata bata. Bagaimana tidak. Kau dicintai dan akan dinikahi oleh seseorang yang benar benar tidak kau kenal.
Bayangkan saja jika kau baru bertemu dengan seseorang, dan ia menyatakan cinta bahkan mengajukan diri ingin menikahimu! Sepertinya aku harus mencubit diriku sendiri.
"Ya Agatha. Aku sangat mencintaimu."
"Kau yakin? Kita baru bertemu." ia menatapku tajam dan tersenyum miring. Beberapa saat kemudian ia menganggukan kepalanya mantab.
"A aku tidak bisa melakukannya. Setidaknya kita harus saling mengenal satu sama lain dan---" ia menggenggam tanganku dan melihat ke dalam mataku. Matanya gelap. Sangat gelap. Aku menunduk, tidak pernah berani untuk menatapnya. Ia seperti mengintimidasiku selama aku bertemu dengannya.
Sejak saat papa dan mama mengenalkanku padanya di kantor papa, entah kenapa aku merasa ketakutan. Sangat ketakutan. Meskipun ia berkata dengan sopan dan tersenyum, tapi aku lebih melihat senyum itu seperti sebuah ancaman, sebuah tanda peringatan.
Well, meskipun kami sudah bertemu beberapa kali tapi ini tetap tidak mengubah apapun. Bukan dia orang yang ingin aku nikahi. Bukan dia. Tapi... Sepintas bayangan kak Ethan muncul. Kak Ethan! Aku sudah lama menduga ini tapi tidak pernah berani mengakuinya karena kami bersaudara. Dalam persaudaraan tidak boleh ada cinta. Itu hukumnya! Untuk itu aku selalu jaga jarak dengan kak Ethan meskipun itu sedikit menyiksa.
Aku belum menceritakan pada kak Ethan perkenalanku dengan Devian karena papa berkata ia akan mengumumkannya di depan semua anggota keluarga jadi aku tidak perlu repot. Itu sedikit membantu, mengingat aku tidak akan pernah mampu untuk mengatakan pada kak Ethan bahwa akan ada pria yang menikahiku. Lebih parahnya kami berdua tidak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya.
Apa yang kalian harapkan? Menentang papa dan berkata terus terang bahwa kami saling mencintai? Atau melarikan diri dari semua ini dan memulai hidup yang benar benar baru berdua? Never! Aku tidak pernah segila itu, membayangkannya saja seperti hal yang sangat sulit untuk dilakukan.
Lagipula aku bisa menebak reaksi papa ketika mendengar aku dan Kak Ethan saling mencintai. Berdoa saja papa tidak memiliki penyakit jantung or something.
"Agatha. Aku sudah cukup lama menunggu waktu bersamamu." ia memandangku lebih dalam lagi. Entah karena pendingin di ruangan ini atau karena pria di depanku ini, aku merasa bergidik.
"Kita akan menikah secepatnya, setelah kau lulus." itu berarti tinggal beberapa bulan lagi. Sial! Aku benar benar tidak siap. Membayangkan pernikahan seperti apa saja aku belum pernah melakukannya.
"A aku tidak bisa Devian. Maafkan aku. Kita harus saling mengenal. Dan aku belum mengenalmu sama sekali." aku mencoba menyusun kata kata sehalus mungkin agar ia tidak tersinggung tapi apa yang aku dapatkan? Matanya semakin gelap menatapku, dahinya berkerut dan nafasnya sedikit memburu.
"Aku sudah mengenalmu Agatha. Mengenalmu! Sangat. Kau tidak punya pilihan. Kau harus menikah denganku karena aku ingin. Kau milikku dan akan selalu seperti itu. Kau gadisku!" aku ketakutan, aku mencoba melepaskan genggaman tanganku darinya tapi sia sia. Ia menggenggamku sangat erat, dan aku hampir menangis frustasi, ketakutan.
Devian beranjak dari duduk di seberangku, kini ia menjajariku, duduk sangat dekat denganku hingga kulitku bersentuham dengan jas mahalnya. Aku semakin berontak dan ingin berlari. Ia mendekapku dan menyandarkan kepala di bahuku. Aku hanya bisa diam. Aku mulai menyadari mencoba melarikan diri bukan hal yang berguna sekarang.
Detak jantungku seakan ingin menghancurkan rongga dadaku meskipun aku diam.
"Agatha... Sayang.. Gadisku." ia berbisik persis di sebelah telingaku, dan percaya atau tidak bisakan itu seperti sebuah suara maut. Aku takut dia akan berbuat hal hal yang tidak diinginkan sekarang. Aku mulai memikirkan bagaimana cara meloloskan diri dari pria ini.
"Agatha... Dengar... Jika kau menikah denganku, aku akan memberitahukan siapa yang membunuh papimu, Sebastian." aku membeku. Tatapanku nanar dan sekaan dengan kalimat itu, ia berhasil menghilangkan sebagian kesadaranku. Jantungku yang sedari dari berdetak kencang sekarang seakan kehilangan tenaganya dan menyerah.
Aku menoleh dan Devian mengendurkan dekapannya memberi jarak. Sepertinya ia sengaja melepaskan kata kata itu sebagai senjatanya. Dan bagusnya, senjata itu benar benar berfungsi padaku.
"Papi dan mami... Mereka kecelakaan." aku berusaha menolak kata katanya meskipun itu sudah jauh masuk ke dalam pikiranku.
"Ya. Kecelakaan." ia seperti beo bukan?
"Tidak mungkin mereka di bunuh. Mereka kecelakaan di dalam mobil dan dan..." aku tidak sanggup menyelesaikan kalimatku sendiri. Air mataku sudah tidak mampu ditahan. Keluar begitu saja tanpa permisi meskipun mataku masih menatap Devian tidak percaya.
"Bagaimana jika itu bukan sebuah kecelakaan biasa. Bagaimana jika itu adalah sebuah rancangan." aku butuh udara! Aku butuh udara! Udara! Sekarang!
"Papimu bukan orang sembarangan... Kau tahu itu. Banyak orang yang mengaguminya, bahkan banyak juga orang yang iri padanya. Aku benar?" aku tidak bisa menjawab. Sungguh apapun yang dikatakan Devian seperti sebuah petir yang menghujaniku bertubi tubi.
"Lalu katakan! Katakan sekarang! Katakan siapa yang membunuh papi?" aku tidak dapat menahannya lagi. Aku menangis sejadi jadinya. Aku tidak peduli jika semua orang di luar ruangan ini mendengarku.
"Sabar sayang. Peraturannya adalah... Kau menikah denganku dan akan aku beritahukan semuanya." ia tersenyum licik.
"Kau bohong! Kau mengatakan itu hanya agar aku mau menikah denganmu." aku menjauh darinya dan berteriak, berusaha menahan makian yg keluar dari mulutku.
"Pikirkan sendiri Agatha sayang. Mobil yang dikendarai papi dan mamimu adalah mobil yang paling aman digunakan saat berkendara. Tapi kenapa bisa mereka kecelakaan sehebat itu?" ya, papi juga pernah bilang ia suka mengendarai mobil itu. Itu mobil kesayangannya. Aku diam, dan mulai berfikir dengan sisa sesenggukanku.
"Kau bisa browsing sayang. Mobil itu punya alat deteksi jika akan terjadi hataman atau semacamnya, ia punya kendali otomatis untuk menghindari itu..." ia diam menatap mataku seakan membaca di dalamnya.
"Lalu kenapa bisa terjadi kecelakaan? Katakan padaku!!" aku masih tidak percaya padanya.
"Menurutmu kenapa? Kau gadis yang pintar Agatha, kau tahu penyebabnya." aku berfikir sejenak. Ruangan itu mendadak hening, hanya suaraku menahan isakan yang terdengar.
"Sabotase." jawabku lirih. Bahuku terkulai.
"You get your answer." ia berkata tenang. Seakan ini adalah pembicaraan biasa.
"Tidak tidak! Kau bohong bohong! Aku tidak percaya padamu!" ia menatapku serius. Namun beberapa saat kemudian tatapan itu berubah menjadi kemarahan. Ia mulai mendekatiku, meraih tanganku dan membawaku keluar ruangan. Ralat, menyeretku lebih tepatnya. Aku harus sedikit berlari untuk menjajari langkahnya yang besar besar. Semua orang yang kami lewati menatap kami dengan heran. Dan sepertinya Devian menganggap mereka semua hanyalah hiasan dinding. Ia membawaku menuju ke lift tanpa melepaskan genggaman tangannya.
"Aku akan tunjukkan padamu. Setelah itu kau boleh mengataiku bohong or something." dan rahangnya mengeras, seperti menahan api yang segera keluar dari dalam dirinya.