AGATHA

Nimas Aksan
Chapter #1

Hari Pernikahan

ELENA duduk di depan meja rias yang sudah rapi—bahkan di sudut kanannya vas bunga berisi tiga tangkai sedap malam yang sedang mekar ikut menghiasi—sambil memejam, mencoba meresapi keheningan yang diciptakannya sendiri di kamar berukuran empat kali enam dengan tambahan kamar mandi shower di dalam. 

“Orang-orang bilang, Ibu mereka selalu menemani di malam sebelum pernikahan. Aku berharap Ibu juga bisa menemaniku sekarang. Adakah Ibu di sini?” gumamnya sangat lirih, hanya bisa didengar telinganya sendiri.

Elena Prastikayaksa, gadis yang seminggu lalu tepat berumur dua puluh tujuh tahun, seorang creative designer di rumah mode La Milan yang cukup sukses, dan besok akan resmi menjadi istri dari Abram Segara Kahyana, insinyur bidang Teknik Informatika yang bekerja di sebuah perusahaan pencipta teknologi komunikasi paling canggih yang semakin berkembang. Kawannya sejak masa SMA, mantan ketua OSIS yang sikapnya seringkali dingin pada perempuan. 

“Ibu bahkan nggak kenal dia. Atau diam-diam Ibu melihat dari sana? Apa Ibu tahu apa saja yang kami kerjakan kalau sedang berduaan? Aku selalu merasa Ibu melihat semua yang aku lakukan, semua tingkahku, semua kelakuanku. Abram sempat bertanya kenapa aku kadang sulit banget dia cium, sulit dia ajak bermesraan. Aku nggak bisa jawab, Bu, padahal aku hanya malu. Aku malu karena aku tahu Ibu lihat dari sana.”

Hening. Tentu saja tidak ada jawaban apa-apa. Ibunya telah lama pergi ketika Elena masih duduk di kelas dua SMP, jauh sebelum Elena mengenal Abram. Kecelakaan maut sepulangnya dari kantor telah memisahkan mereka. Sepeda motor yang dikendarai ibunya ditabrak truk pengangkut pasir. Sejak itu, Elena hanya tinggal berdua dengan ayahnya, seorang pensiunan pegawai negeri sipil dari dinas pendidikan. Sampai setahun lalu, saat ayahnya tidak tahan dalam kesendirian dan akhirnya meminang seorang guru untuk dijadikan ibu tiri Elena. Bu Rani, ibu tirinya, membawa serta dua orang anak usia SD dari hasil pernikahannya dengan almarhum suaminya.

Elena belum pernah merindukan ibunya sebesar sekarang. Lebih besar dari masa-masa kesepian di malam lebaran. Lebih besar dari malam-malam penuh perenungan di setiap ulang tahunnya. Karena malam ini, Elena akan melangkah ke dunia baru yang mungkin akan mengubahnya menjadi sosok pribadi yang berbeda. Tidak ada hari yang lebih sakral bagi seorang perempuan, selain hari pernikahannya. Maka seharusnya, di malam sepenting ini, ibunya hadir di sini. Menyisir rambutnya, menginai jemari tangannya, atau memandikannya dengan air bunga.

Adakah pertanda dia benar-benar hadir saat ini?

Elena menajamkan seluruh panca inderanya. Sengaja terdiam untuk memberi kesempatan ruang dan waktu terbelah pelan-pelan, sehingga mampu membawa sosok dari masa lampau yang selalu mengamatinya dari dimensi berbeda. Tapi setelah beberapa lama, yang dirasakannya hanya embusan dingin udara dari Air Conditioner di dinding kamarnya.

“Bahkan hantunya pun tidak ada?” gumam Elena penuh kecewa.

Bersamaan dengan keluhnya, tiba-tiba pintu kamarnya yang semula sengaja ditutup rapat kini terpentang lebar, dikuti langkah-langkah bergegas yang menghampirinya.

“Cukup menyendirinya, Bride!” 

Elena melihat Chelsi, sahabatnya sejak SMA yang sekarang berprofesi sebagai pengacara muda, sudah berdiri di belakangnya, menatap matanya melalui cermin meja rias.

“Sejak kapan kamu datang kesini?”

Chelsi menegakkan tubuhnya sambil mengangkat dagu. “Sudah hampir setengah jam, Freya juga di sini. Kita udah sepakat malam ini milik kita bertiga, sebelum besok kamu dimiliki sama Si Abram sialan itu. Jadi kamu nggak boleh menyendiri di kamar. Bisa kesurupan, tahu!”

Elena memutar tubuhnya menghadap Chelsi. Ekspresinya penuh kekecewaan. “Maaf kalau aku membuat kalian menunggu, tapi tolong kasih waktu sepuluh menit lagi, please? Kita kan udah bareng terus selama sepekan ini karena harus menyiapkan semuanya bertiga. Aku cuma minta waktu sebentar saja---“

Sekarang Chelsi membungkuk mencondongkan wajahnya ke depan wajah calon pengantin yang tampak menyedihkan itu. “Aku tahu apa yang sedang kamu lakukan, Elena. Ayolah, semua itu sia-sia saja. Ibumu pasti menyaksikan dari surga, tapi arwah suci seperti dia mana mau datang ke tempat kamu sering melakukan maksiat ini?”

“Hey, hati-hati kalau ngomong, Bitch!” Elena memelotot.

“Ayolah, kamu kan sering berduaan sama Abram di sini,” Chelsi berjalan memutari si calon pengantin dengan lenggak-lenggok menggoda. “Berapa kali sudah kalian mengotori seprai?”

“Sialan. Jangan samakan aku dengan kelakuanmu,” gerutu Elena, sembari berpaling dan mulai mencoba menyamankan diri dengan meraih kotak make upnya, lalu mengeluarkan koleksinya satu demi satu. “Aku belum pernah ngapa-ngapain Abram. Dia masih suci.”

“Ohya? Bagaimana denganmu? Masih perawan suci juga?” Dagu Chelsi bertengger di bahu Elena. Membuat gadis itu mengedik mengusir kepala mungil temannya dengan cara mengibaskan kuas blush on. 

“Ini bukan jenis obrolan yang aku harapkan di malam sebelum pernikahan. Kalau masih mau membahasnya, aku sarankan bikin grup dengan Freya di luar. Aku nggak ikutan.”

“Kalem, Say,” Chelsi malah memeluk Elena dari belakang. “Aku tahu perasaanmu saat ini. Kamu memang pengantin paling menyedihkan yang pernah kutemui.”

Sesaat Elena membiarkan Chelsi memeluknya sambil memejamkan mata seolah sedang menikmati setiap jengkal kehangatan dari tubuhnya, kemudian Elena mengedik hendak melepaskan diri, tapi Chelsi justru memperketat pelukannya.

“Jangan dilepas. Anggap aja ini ibumu yang memeluk, bukan aku. Ibumu tahu aku gadis suci yang selalu memelihara akhlak dan berbudi luhur, jadi dia percaya padaku, dan menitipkan pelukannya melalui kehangatan dekapanku. Diam. Kamu diam aja, bego. Rasakan pelukan ibumu. Rasakan.”

Konyol sekali. Elena tidak kuasa untuk melepas senyumnya. Tapi anehnya, dia merasakan kehangatan mulai menjalar dari lengan dan dada Chelsi yang merengkuh tubuhnya. Dia ingat dulu ibunya sering memeluknya dari belakang ketika Elena sedang duduk di depan meja riasnya, di masa-masa dia mulai beranjak remaja. Ibunya akan menghadapkan wajahnya ke cermin, memuji bagian-bagian wajahnya yang menarik. Matanya yang berbentuk buah almond, kopi paste mata ibunya, rambut lurus yang senantiasa jatuh pasrah di bahu, dan hidung lancip mungil yang membuat keseluruhan bingkai wajahnya menarik. Ibunya akan mengatakan, “Mirror-mirror on the wall, kau telah berhasil menampakkan wajah dua orang gadis tercantik di dunia ini.”

Elena memejam, merasakan desakan hangat yang membuat kelopak matanya bergerak-gerak, lalu dia tidak kuasa menahan sebulir air mata. Dan sebulir lagi di pipi satunya.

“Hey, jangan menangis,” Chelsi membuka mata, melepas peluknya dan memutar tubuh Elena menghadap ke arahnya lagi. Bibirnya yang selalu tampak seperti mencebik manja sekarang melorot ke bawah. “Kamu udah sangat kelihatan menyedihkan tanpa airmata itu.”

Buru-buru Elena menghapus air matanya, dan mulai mengontrol emosinya. Dia mengatur napas, menahan sebentar, lalu mengembuskannya. Dan akhirnya, dia bisa tersenyum. “Sampaikan ke Ibu, makasih pelukannya. Aku minta doa restunya.”

Chelsi menatapnya sambil menautkan sepasang alisnya, kemudian menggeleng dengan mulut masih melorot. “Aku gadis perawan suci, bukan cenayang. Sampaikan saja sendiri.”

“Kamu benar-benar gadis perawan sialan.”

Bibir Chelsi berbalik naik, mungkin itu yang disebutnya seringai. Dia memiliki kelebihan pada bibirnya yang selalu tampak cemberut manja itu. Meski anehnya, dia lebih sering jadi jomblo daripada menjadi pacar seseorang.

“Kalian di sini rupanya,” sebuah suara yang melengking tajam terdengar dari arah pintu kamar yang masih terbuka. Serentak Elena dan Chelsi menoleh, dan mereka mendapati seorang perempuan hamil yang mengenakan baby doll lucu berdiri di ambang pintu.

“Masuk sini, anggap aja rumah sendiri,” Chelsi mencandainya.

Freya melangkah masuk dengan pelan-pelan seolah membawa beban janin tujuh bulan di perutnya membuat langkahnya jadi sangat berat.

Lihat selengkapnya