AGATHA

Nimas Aksan
Chapter #2

You're Beautiful Today But I Hate You

KANTIN SMA Bakti Persada pada jam istirahat kedua dipenuhi pelajar malas yang kelaparan, berlama-lama nongkrong sambil menikmati makan siang kurang bergizi, mengobrol, dan mengabaikan jam masuk kelas selanjutnya. Elena menikmati semangkuk bakso penuh gairah, sama seperti Chelsi yang berkali-kali menambah saus dan sambal. Pipinya seperti terbakar, mulutnya berdesis, berkali-kali ditenggaknya botol teh dingin, tapi dia belum juga merasa kapok.

“Sialan. Kalian tahu nggak, Leon membolos lagi,” gerutu Freya yang tiba-tiba datang bergabung di meja mereka. Wajahnya yang cantik, putih tanpa jerawat dan halus seperti terbuat dari satin warna susu, menekuk cemberut. Dia duduk di dekat Elena, melipat kedua tangannya di depan dada.

“Mau gimana lagi? Pacaran sama bad boy ya makan ati terus deh,” sambar Chelsi sambil bedesis seperti ular.

“Dia udah janji mau berubah, Chel. Kalo gini kan aku yang capek, bolak-balik ditanyain guru BP mengenai masalah broken home-nya Leon. Apa dia mau peduli?” Freya memelankan suaranya dengan sedih.

“Putus aja kalo gitu,” celetuk Chelsi yang langsung disusul dengan mengaduh karena rusuknya disikut Elena.

“Kalo ngomong yang lempeng, Chel, jangan nyuruh orang pacaran putus, nanti kualat kamu, seumur hidup jomblo terus!”tegur Elena memelototi Chelsi.

“Kan sebagai temennya, aku kasihan liat Freya menderita terus. Lihat aja bodinya makin kurus gitu,” Chelsi beralasan sambil mengedikkan dagu ke arah Freya.

Tapi Freya sedang tidak bersemangat menanggapi cerewetnya Chelsi. Wajahnya murung, menatap pada botol-botol saus tanpa minat, seolah pikirannya jauh entah di mana. Elena yang paling bijak di antara ketiganya, merasa kasihan. Pasti ada hal yang serius dialami Leon di rumahnya, mengingat berkas kasus bolos atau minggat dari sekolahnya Leon kalau dibundel bisa jadi skripsinya mahasiswa calon S1.

“Frey, kamu udah coba nelepon Leon?” tanyanya hati-hati.

“Hpnya nggak aktif. Aku kirim SMS puluhan kali, nggak dibalas juga. Mungkin dia justru nggak membawa hpnya kemana-mana,” Freya menarik napas sejenak. “El, aku nggak bisa ninggalin dia dalam keadaan begini. Dia butuh dukunganku. Dia pasti sedang mengalami masalah berat, El. Cuma aku belum tahu apa masalahnya, dia benar-benar tertutup. Tapi aku capek, El. Masa sih aku kayak gini terus? Aku bukan dayang pengasuhnya. Aku bukan asistennya yang harus selalu menjaga dia, memenuhi kebutuhannya, mewakili dia dipanggil BP, aku ini dia anggap apa, El?”

Elena menatap sahabatnya dengan muram, turut merasakan kesedihan yang sedang merobek hati Freya. Chelsi berhenti mengunyah, terdiam, bahkan berkomentarpun tidak berani. Freya mulai terisak pelan, tidak peduli saat ini mereka sedang duduk di kantin yang penuh sesak. Dia menyandarkan kepalanya ke bahu Elena, dan Elena membiarkannya.

“Kamu pasti sayang banget sama Leon, Frey. Kalau memang nggak bisa meninggalkannya, jangan menyerah sama dia. Kamu bisa terus mendukungnya, mendekatinya, mengobati lukanya. Aku yakin, suatu saat Leon pasti akan sadar kalau kamu adalah bidadari yang sehausnya dia syukuri, karena sudah begitu mencintainya. Leon dan kamu itu pasangan serasi, dua orang paling cakep di sekolah, paling populer. Leon harus balik menjadi Leon yang dulu, yang jago ngedrum, bintang panggung, bintang lapangan. Aku yakin, kalau kamu sabar Frey, Leon akan segera sadar dan kembali seperti dulu.” Entah bagaimana Elena berhasil mengucapkan kalimat sepanjang itu. Sebuah nasihat dari gadis tujuh belas tahun yang baru duduk di bangku kelas tiga SMA, untuk temannya yang sedang digalaukan cinta.

Bukan berarti sia-sia, karena Freya mendengarkan dengan tekun, seolah setiap kata yang dilontarkan Elena menyiramkan kesejukan di hatinya. Kemudian Freya mengangkat kepalanya, berpaling menatap Elena tanpa berkedip.

“Apa kamu yakin aku bisa sabar?”

Elena menyunggingkan seulas senyum. “Semua itu kamu yang tahu, Frey. Kamu yang tahu seberapa kuat kamu, seberapa besar kadar sabar kamu, dan kamu juga yang tahu kapan kamu harus berhenti.”

Freya kembali terdiam, sesekali membersit hidungnya yang mancung sempurna, dan menyusut airmatanya. Beberapa saat Elena juga membiarkan, memberi kesempatan Freya untuk mencerna ucapannya. Tapi tidak lama, suasana hening di meja tiba-tiba terbelah oleh suara sendawa.

“Ups, sorry!” Chelsi buru-buru menutup mulutnya.

Intermezzo itu membuat suasana jadi pecah, Elena dan Freya mau tidak mau menahan senyum geli. Elena menyambit kepala Chelsi dengan tutup botol teh, tapi untungnya Chelsi sigap mengelak. “Dasar cewek kurang empati!”

“Bukan gitu, namanya juga kekenyangan gimana sih?” Chelsi membela diri.

“Aduh!” Elena berseru ketika kepalanya kena sambit segumpal kertas. Dia memelotot pada Chelsi, tapi Chelsi menggeleng-geleng dengan wajah tanpa dosa.

“Bukan aku!”

Kertas itu jatuh ke atas meja. Elena meraihnya, dia curiga kalau itu bukan sekadar gumpalan kertas biasa. Pelan-pelan dirapikannya kertas itu menjadi lembaran utuh, dan akhirnya dia bisa melihat tulisan yang tertera di sana. You are beautiful today, but I hate you. Elena mengangkat kepalanya melongok mencari-cari dari mana kira-kira ketas itu berasal. Dan pandangannya tertumbuk pada meja sebelah yang dipenuhi cowok-cowok dari kelas Fisika.

“Siapa yang lempar?!” teriaknya galak pada cowok-cowok itu.

Ada sekitar empat cowok kelas tiga Fisika satu yang mengitari meja sebelah. Ada Santoso yang berkacamata minus tebal, Purnama yang belahan rambutnya sangat jadul, Dilan si gitaris populer yang satu band dengan Leon, dan Abram si mantan ketua osis berbadan tinggi tegap berkulit cokelat gelap tapi memiliki senyum seksi yang memperlihatkan sebelah lubang di pipi, biasa disebut lesung pipit.

Di antara mereka, hanya Abram yang balas menantang memandangnya. Santoso dan Purnama bisik-bisik ketakutan sementara Dilan tetap asyik dengan gitarnya.

“Abram yang lempar,” bisik Chelsi sambl menyikut Elena.

Entah mengapa, mendadak Elena merasakan pandangan Abram begitu menusuk hatinya, dan seketika sensasi debaran yang tidak biasa melanda dadanya. Sialnya, Abran tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya lekat dengan sesungging senyum tipis yang mampu mengacaukan perasaan. Elena kembali duduk dengan cepat, berusaha berpaling menjauhkan wajahnya dari pandangan Abram. Dia tidak ingin Abram melihat pipinya memerah. Dilemparnya kertas itu jauh-jauh sampai menabrak gerobak bakso. Ketika kembali matanya memandang wajah kedua sahabatnya, mereka sedang balas memandangnya dengan keheranan.

“Mantan ketua osis kita yang lempar kertas ke kamu, El?” bisik Chelsi dengan suara mencicit tidak sabaran.

Elena menggeleng-geleng cepat. “Belum tentu buat aku. Pasti buat Freya!” Elena berpaling cepat ke arah Freya. Tapi Freya menggeleng keheranan. “Nggak mungkin. Abram kan tahu aku sama Leon. Mereka berteman, nggak mungkin Abram ngegebet pacar temennya sendiri. Aku tahu Abram anaknya berbudi luhur.”

“Tapi ke aku juga nggak mungkin, aku nggak pantas dipuji-puji tapi belakangnya dibenci begitu, kan? Iya kan?” Elena bersikeras.

“Kalau gitu pasti buat aku,” celetuk Chelsi.

Lihat selengkapnya