SEGALA yang tejadi di depan matanya selama hampir satu jam ini seolah tidak benar-benar nyata, hanya sekelebat mimpi buruk yang datang saling tumpang–tindih, yang satu menimpa yang lain. Seperti kalau kita sedang sangat kelelahan kemudian tertidur di sembarang tempat dan diganggu potongan-potongan mimpi buruk tak berkesudahan.
Satu mobil berisi enam orang perwakilan keluarga Abram, salah satu di antaranya Attar, dan dua lainnya kakak-kakak lelaki Abram, dan sisanya paman serta dua sepupunya, sibuk berbicara serius dengan papanya. Telinganya menangkap deretan kalimat yang seolah datang dari ujung lorong yang panjang, menggema, kadang terdengar jelas kadang hanya gaung tak berarti. Petugas penghulu dari KUA tampak kebingungan saling bertukar pandang, melirik jam tangan, mungkin mencemaskan jadwal mereka di tempat lain. Ibu Rani dibantu Malinda dan timnya dari Wedding Organizer Bride White yang disewanya sibuk menenangkan para tamu yang sudah datang untuk menghadiri akad nikah, mengajak mereka menuju tenda tempat buffet dan foodstal buru-buru dihidangkan, memastikan semua menikmati hidangan resepsi sebelum waktunya.
Tumpang-tindih suara, ramai perdebatan, riuh-rendah tamu yang bergegas mengantri makanan, dan wajah-wajah yang diam-diam mencuri pandang ke arahnya, seolah merasa prihatin sekaligus ingin tahu bagaimana reaksi sang pengantin wanita yang sedang berdiri di belakang pintu ruang tamu yang sepi, membeku tanpa suara ditemani dua sahabatnya yang setia. Membisu dengan wajah menunduk, alis bertaut seolah tak berhenti berpikir, mendengarkan segala percakapan dan keributan yang terjadi di area tenda tempat akad nikah di halaman rumah yang luas.
“Kami tidak bisa menunggu lama, jadi bagaimana keputusannya?” suara petugas KUA sekarang yang mendominasi.
“Ditunda saja dulu, Pak, saya ikhlas. Saya pribadi nggak mau merepotkan Bapak-Bapak, karena pasti sudah ditunggu tugas lain,” ujar Pak Bima Adyaksa dengan suara rendah yang pasrah.
“Bagaimana kalau tunggu sekitar setengah jam lagi, Pak? Saya sedang berusaha mencari. Kami masih berusaha mencari!” Attar bersikeras, dan diiyakan oleh kedua abang Abram yang berdiri di dekatnya.
“Siapa yang sedang mencari?” Pak Petugas tampak sangsi.
“Kami sedang menyebar mencari dan berusaha menghubunginya, Pak. Tolong, tunggulah sebentar saja.”
“Kalau begitu saya tunggu sampai jam setengah dua belas. Karena sesudah zuhur saya langsung menuju acara lain.”
“Silakan, Pak, terima kasih banyak sudah mau menunggu!” Attar membungkuk penuh penghargaan. Setelah itu dia langsung meraih ponselnya dan mulai sibuk menelepon.
“Tapi saya nggak yakin. Apa Abram akan benar-benar bisa ditemukan? Bagaimana kalau dia sebenarnya nggak mau datang? Persoalannya, dia bukan anak kecil yang bisa dibujuk pulang. Ini keputusan besar, menyangkut masa depan anak saya. Kalau dia nggak mau datang, ya nggak bisa dipaksa datang,” ujar Pak Bima Adyaksa penuh rasa pesimis.
“Sampai tadi malam, dia masih bersemangat dengan pernikahannya, Pak,” sambar Anggra, kakak tertua Abram yang sejak tadi hanya menjadi pengamat. “Saya yakin ini ada kuasa di luar kemampuan kita.”
“Maksudmu, Abram diculik?”
Anggra terdiam, melirik Andra, adiknya, kakak Abram yang nomor dua. Andra hanya menggeleng pelan seraya menghela napas. “Jujur kami juga nggak yakin kalau penculikan, Pak. Semalam sampai pagi, beberapa dari kami masih begadang di halaman rumah. Kalau ada penculik, nggak mungkin lolos begitu saja. Kami sama sekali nggak mendengar keributan apapun, tahu-tahu pagi hari saat kami mengetuk pintu kamar Abam, dia sudah nggak ada di kamarnya.”
“Lalu apa yang bisa menjelaskan semua ini?”
“Kita sama-sama sedang mencari tahu, Pak. Maafkan kami, karena nggak pernah menyangka masalah seperti ini akan timbul. Kami pasti bertanggung jawab, Pak. Atas nama Abram, dan kedua orang tua kami yang sudah tiada,” gumam Anggra sambil menundukkan kepalanya.
Pak Bima Adyaksa menggeleng sedih, dia tahu tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan menjaga agar hati putrinya tidak terlalu patah. Dia menoleh ke arah pintu, di mana putrinya masih berdiri membeku dalam balutan kebaya akad nikahnya. Sangat cantik, seperti yang selalu dibayangkannya sejak Elena baru beranjak remaja. Impiannya mengantar Elena ke pelaminan untuk akad nikah, menyatukannya dengan lelaki saleh yang mampu membahagiakannya, memberinya segenap restu dan do’a, seharusnya terwujud sekarang. Tapi semua impian seakan kandas dihantam gelombang.
“Kami akan membayar semua biaya yang sudah dikeluarkan. Semuanya, Pak, karena resepsi di hotel dan segalanya nggak bisa dibatalkan,” ujar Anggra lagi.
“Itu nggak perlu terlalu dipikirkan, kita akan tanggung bersama.”
“Nggak, Pak, kesalahan ini dari pihak kami. Kami akan bertanggung-jawab.”
Pak Bima Adyaksa terdiam, kemudian kembali berpaling memandang pintu rumahnya, di mana putrinya masih berdiri dengan tubuh separuh tertutup daun pintu, menunduk diam tanpa ekspresi apapun, menatap lantai seolah di sana dia mampu mencari segala jawaban.
“Saya akan mencari Abram sampai ketemu, Pak,” tiba-tiba Attar sudah menyela kembali di depan Bima, wajahnya penuh tekad.
Ucapan Attar mampu membuat Elena seperti terbangun dari mimpi buruknya. Gadis itu mengangkat wajahnya dan serta-merta berseru. “Aku ikut!”
Kini semua menoleh pada Elena. Sesaat udara penuh kecemasan, seolah semua orang yang hadir sepakat mengasihani calon pengantin yang tertimpa kemalangan itu. Tapi alih-alih melihat deraian air mata, semua orang justru melihat wajah membeku dan tatapan mengeras penuh tekad, menantang semua yang menatap penuh kasihan.
Chelsi memijit lengan Elena pelan, berusaha memberinya kekuatan. Sementara Attar berjalan mendekat ke arah pintu.
“El,” Attar hanya bisa bergumam di depan Elena. Mereka berdiri berhadapan sejarak satu meter, saling pandang dengan kemuraman yang sama.
“Abram masih nelepon aku jam tiga pagi, dan dia masih punya niat untuk menikah,” gumam Elena pelan, sehingga hanya dia, Attar dan Chelsi yang bisa mendengar. “Dia bukan kabur karena nggak mau menikah."
“Aku juga yakin begitu,” timpal Attar tegas.
“Aku ikut, Tar.”
Attar mengerutkan keningnya mendengar kalimat tegas yang disampaikan Elena.
“Aku ikut kamu mencari Abram. Aku harus tahu kemana sebenarnya Abram pergi.”
Ragu-ragu Attar menggeleng. “Sebaiknya kamu tetap di rumah, mungkin ada banyak yang harus kamu selesaikan di sini.”
“Apa? Menghadiri resepsiku sendiri yang sekarang nggak tahu tujuannya untuk apa? Menerima ucapan bela sungkawa dari para tamu? Menangisi kegagalanku menikah? Menurutmu apa yang lebih tepat harus kulakukan sekarang?” Nada suara Elena meninggi, membuat semua orang yang berada dekat dengannya menoleh, tertarik oleh perdebatan kecil itu.
“Elena benar, Tar. Mungkin sebaiknya dia pergi dari sini,” sela Chelsi penuh harap. Dia sendiri tidak bisa membayangkan kalau seandainya menjadi Elena, ditinggal di pelaminan tanpa kejelasan. Dia tidak akan sanggup menghadapi siapapun, dan memilih pergi adalah keputusan terbaik.
Akhirnya Attar mengangguk setuju. “Oke, tapi kamu harus ganti pakaian. Aku nggak mau orang-orang menyangka aku menculik pengantin perempuan dari pelaminan.”
Mungkin di waktu-waktu lain yang tidak setegang sekarang, gurauan Attar cukup menggelitik, tapi tidak untuk saat ini. Elena mengamati tubuhnya sendiri yang berbalut kebaya indah, mengingat dengan sedih bahwa dia sudah menantikan untuk memakainya sejak beberapa bulan lalu setelah Abram resmi melamar. Kebaya sederhana yang dirancangnya sendiri, dibantu asistennya yang telaten menjahitkan sesuai perintahnya, lalu ketika pagi menjelang dan dia mandi pukul lima tepat dan mulai dirias Mak Salamah, dia berharap kebaya ini membawa keajaiban baru dalam hidupnya. Bukan kesengsaraan seperti ini.
“Aku temani ganti baju, yuk,” Chelsi menyelamatkan situasi di mana Attar agak menyesali candaannya.
Tapi Elena bergeming di tempatnya berdiri, menatap kosong pada orang-orang yang sibuk berpamitan pada papanya dan Ibu Rani yang berusaha agar para tamu tidak ada satupun yang berjalan mendekati Elena.
“Abram orang yang setia. Dia nggak mungkin mengkhianatiku, kan, Attar?” tiba-tiba dari bibirnya meluncur pertanyaan itu, begitu saja.
Attar terperangah, untuk sesaat tidak mampu menjawab. Kemudian dia menghela napas dan berujar dengan suara penuh penyesalan. “Dia itu lelaki bodoh yang sulit menyampaikan perasaannya, El. Biasanya, orang seperti itu adalah pemegang komitmen sejati.”