Gelap.
Matanya terpejam, namun kesadaran masih ada. Detak jam dinding mengisi ruang kehampaan yang ia rasakan.
“Jadi, tadi malam kau bermimpi apa?”
Perlahan, matanya terbuka. Objek pertama yang Yatalia lihat adalah wanita berkerudung sifon kelabu membaca novel di sampingnya.
“Mimpi?” Yatalia mengangkat salah satu alisnya.
“Katanya kau bermimpi buruk. Mimpi apa yang membuatmu merinding ketakutan seperti tadi?”
Yatalia tidak ingat pernah mengatakannya. Sungguh, ia lupa dengan mimpi yang dimaksud wanita itu. Hanya saja, Yatalia selalu bermimpi buruk beberapa kali dan mengingatnya. Untuk kali ini, mimpi semalam mendadak sirna dari ingatannya.
“Eng ….” Dia mencoba merangkai kata. “Tempatnya gelap, Di sana aku melihat monster. Seingatku begitu,” jawab Yatalia mengarang. Hati kecilnya sempat berteriak kecil, bertanya-tanya kenapa bibirnya berani berbohong.
“Bagaimana rupa monsternya?” Wanita itu membalik lembaran novel tanpa melirik.
Berbaring di kursi malas membuat Yatalia hampir terlena dengan kenyamanan. Ia berusaha menggali mimpi agar mengingat-ingat mimpinya. Sayangnya tidak ada. Sudah terlanjur mengarang tinggal lanjutkan saja.
“Dia membelakangiku. Seluruh tubuhnya gelap … darah selalu menetes dari bibirnya dan … dia terlihat buruk rupa.”
Sedari tadi bibirnya lebih memilih berbohong. Yatalia khawatir, ketika karangan mimpi buruknya dapat terendus.
“Tadi malam begadang lagi?” Wanita elegan itu kembali bertanya. Tangannya pun membalik halaman novel selanjutnya.
“Ya begitulah. Tugasku menumpuk.”
Untuk menghilangkan kegugupan, bola mata Yatalia menjelajahi interior. Cantik dan modern. Rak-rak buku berderet rapi menggantikan dinding dan pilar. Aroma khas kertas bercampur kayu sebagai pengharum ruangan.
Tangga menuju lantai dua tidak jauh dari tempatnya berbaring. Ketika menjelajahi lantai dua, tempat itu merupakan ruang bersantai melihat matahari terbenam. Terakhir, yang membuat ruangan ini semakin elegan adalah lampu kristal antik di tengah langit ruang.
“Sepertinya kau kelelahan,” ujar lawan bicara Yatalia. “Aku pernah mengalami mimpi buruk serupa karena stres dan lelah. Dalam kasus lain, aku membaca bahwa mimpi buruk mewakili pengalaman traumatik yang masih membekas sampai sekarang.”
Di akhir kata barulah mereka bertatapan. Detik berjalan cepat, Yatalia tidak bisa berkedip ketika sorot mata tajam wanita itu membuatnya terhipnotis.
“Bisa jadi, mimpi burukmu itu cerminan mental yang kurang sehat.”
“Hah?” Yatalia belum paham. “Cerminan apa?”
“Cerminan mental yang kurang sehat.” Kalimat itu diucapkan lagi. "Rasa takut yang masih menghantui kehidupanmu biasanya akan menyusup dalam mimpi hingga rupa mereka akan berbentuk monster." Ia menutup buku bacaannya lalu mengambil novel lain di pangkuannya secara acak.
“Apa Rayyan tahu tentang mimpi burukmu ini?”
“Tidak. Aku berpikir mimpi buruk yang aku alami hanya sementara, ternyata sering berulang kali meski berbeda cerita. Seperti katamu, pasti aku stres atau kelelahan karena tugas menggunung, terutama mengulang mata kuliah dosen killer.”
Yatalia mengambil buku yang baru ia sadari ada di atas perutnya sendiri. ‘Be Careful’, judul buku yang sepertinya menjadi sarat makna baginya.
“Kak Ray sudah mengurusku dengan baik. Aku gak mau dia khawatir tentang kehidupanku. Makanya, aku lebih memilih lari ke sini agar Kak Ray tahu aku masih baik-baik saja."
Wanita itu tersenyum tipis. “Jika dipikirkan lagi, ada hal lain yang membuatmu berbohong tanpa kau sadari," katanya menimpali tanggapan Yatalia saat mengumpulkan empat novel tebal dalam satu tumpuk.
“Mungkinkah … kau sedang menghadapi masalah lain?”
Yatalia tidak menjawab. Lagi-lagi ia memikirkan tebakan wanita itu. Masalah yang membuatnya seperti ini ada banyak, namun tugas-tugas kuliah lebih mendominasi pikirannya sekarang.
“Mendapat masalah dalam tugas sudah membuatku pusing tujuh keliling, mengapa aku menambah masalah lain, Kak Al.”
Al, panggilannya. Tersenyum pada Yatalia sebelum mengangkat novel-novel itu dan mendekati rak terdekat.
“Minggu lalu aku membaca sebuah novel lama. Ada satu orang murid yang harus remedial ulangan. Setelah kelas berakhir, sang guru menggunakan waktu luang itu untuk memperbaiki nilai ulangan si murid. Saat muridnya mengeluh mengapa tidak esok hari saja, sang guru langsung memberitahu jenis-jenis waktu berdasarkan sifat manusianya.” Al mulai merapikan deretan rak setinggi pangkal hidungnya sehingga ada celah kosong.
“Pertama, waktu berjalan lambat karena manusia ingin lari dari masalah.” Al menaruh buku tebal pertama.
“Kedua, waktu berjalan seperti biasa karena manusia masa bodoh dengan masalah.” Buku tebal kedua menyusul dalam rak.
“Ketiga, waktu berjalan cepat karena manusia dapat menyelesaikan masalah.” Buku ketiga pun masuk ke dalam rak.
“Terakhir, waktu berhenti di tempat ketika hidup manusia tamat oleh masalahnya sendiri.” Buku terakhir menjadi penutup celah rak di antara novel-novel bersampul gelap. Kemudian dia mengambil salah satu buku di bawahnya.
“Time is sharp. Waktu bisa membunuhmu. Kalau kau masih menganggap stres ini masalah sepele, aku rasa mimpi burukmu itu gejala gangguan kesehatan mental atau fisikmu yang belum terdeteksi. Kau tidak bisa mengatakan ‘baik-baik saja’ selamanya, kau membutuhkan pertolongan secepatnya.”
Yatalia mengedipkan mata berkali-kali sewaktu mencerna nasihat Al. Ia baru sadar jarak mereka menipis. Yatalia otomatis mendongak, ia merasa kerdil. wanita berbalut tunik warna senada dengan hijabnya berdiri menjulang di depannya.
“Kau mau mengadu pada Kak Ray?”
“Tidak. Aku mengkhawatirkanmu,” jawab Al lalu menyerahkan buku hard cover ilustrasi indah berjudul 1001 Dunia Mimpi Lyn. “Ambilah. Semoga tidak ada mimpi buruk lagi setelah membaca ini.”
Yatalia memposisikan tubuhnya duduk. Menatap wanita itu sebentar sebelum menerima buku dongeng itu ke pangkuannya. Bertepatan buku itu berpindah tangan, jam dinding berbandul di atas kepala Yatalia berdentang pukul sembilan tepat.
“Ah, sudah jam sembilan rupanya.” Al langsung merapikan meja yang berantakan. “Sebaiknya kau pulang. Bukannya kau ada janji dengan kakakmu setelah beralasan mampir ke sini?”
Yatalia menggaruk kepala. Biasanya ia akan mengingat janji seseorang terlebih bersama orang terdekat, tapi ia melupakan semua seolah perannya hari ini harus pandai berbohong.
“A-ah … iya.” Yatalia bergegas memasukkan buku dongeng pemberian Al. Akan tetapi, Yatalia melihat sesuatu dalam tas. Benda kecil berkilau berbentuk kunci dengan rantai seperti kalung. Ia merasa tidak pernah memiliki benda cantik itu.
Lalu ia melihat gerakan Al sedikit panik waktu membereskan kertas-kertas dan perkakas alat tulis di meja.