Jakarta, 5 April 2023
Giovan Arkhana meminum segelas susunya dengan sekali teguk sambil berdiri. Berulang kali mamanya memberi pemahaman bahwa minum atau makan sambil berdiri itu tidak baik, berulang kali pula ia melanggarnya. Bukan karena ada idiom ‘aturan dibuat untuk dilanggar’, tetapi, ia sedang terburu-buru, itu alasan yang paling aman dan masuk akal. Setelah meletakkan gelas, ia mencomot roti yang sudah dilapisi cokelat dan hazelnut di meja makan.
“Aku berangkat, Ma!” pamit Gio terburu-buru dengan mulut penuh roti, sementara tangannya sibuk memasang ransel di punggung yang tegap. Baru saja tangan pemuda jangkung itu menyambar kunci kontak sepeda motor, tangan Wiwid menarik ransel hingga langkah Gio tertahan.
“Sudah Mama bilang, kamu nggak usah ikut-ikutan demo! Dengerin Mama sekali ini saja, please, Gio!” Wiwid menatap penuh harap putra semata wayangmya seakan memohon tanpa melepas tali ransel di cengkeramannya.
“Ma, hari ini teman-teman dan dosen kami, akan mengadakan koordinasi lapangan dan memberi pengarahan buat aksi besok. Mama nggak mau lihat anaknya berjuang membela nasib rakyat di negerinya dalam ketidakadilan? Mama nggak mau, kan, anaknya membiarkan para pemimpin mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat? Mama nggak ma—"
“Cukup Gio! Mama paham semua yang kamu dan teman-temanmu lakukan. Tapi Mama khawatir,” potong Wiwid dengan raut berubah muram.
“Ma, mestinya Mama dukung aku. Dulu Mama sendiri selalu cerita bagaimana perjuangan Mama sama teman-teman. Mama hebat, dan aku bangga. Tapi kenapa giliran anaknya melanjutkan perjuangan, Mama malah cegah?” protes Gio sambil berusaha menarik kembali tas ranselnya.
“Justru Mama nggak mau sesuatu terjadi sama kamu seperti yang Mama alami, Nak! Mama nggak mau kamu dapat masalah.”
“Apa yang Mama alami? Bukankah Mama sendiri bangga dengan pengalaman Mama sebagai Agent of Change seperti yang selalu Mama sebut?” serang Gio disusul dengan perasaan curiga. “Hm, apa ada sesuatu yang Mama sembunyikan di peristiwa itu?”
Tatapan mata Gio yang menyelidik membuat Wiwid tak mampu lagi mengelak. Ia terpaksa menceritakan akibat yang didapat dari peristiwa di balik perjuangan reformasi tahun 1998. Meski tak secara detail, Wiwid menyampaikannya dengan berat hati.
“Selain Mama dipindahkan kuliah dan dititipkan Opa sama Om Bima di Bali, Mama kehilangan teman-teman, juga kekasih. Mama meninggalkan mereka tanpa kabar karena Opa melarang Mama berhubungan lagi dengan mereka. Opa takut terkena masalah lagi karena takut sambungan telepon disadap seperti di rumah Opa. Bisa berabe, kasihan Om Bima.”
Gio sejenak tertegun. Sorot matanya seperti terhipnotis dibawa ke masa lalu mamanya. Namun sejurus kemudian, Gio kembali bereaksi.
“Pengalaman Mama dan aku jelas nggak akan sama. Aku nggak takut! Akan kutanggung risiko yang akan terjadi nanti daripada aku nggak berbuat apa-apa, Ma!”
Wiwid tampak terdiam. Ia merasa menemukan kemiripan sifat idealis, menggebu-gebu, dan keras kepala, antara anaknya dengan seseorang yang pernah singgah di hatinya. Namun pikiran itu segera ia tepis. Kenangan pahit itu terlalu sakit jika diungkit kembali.
“Kalau kamu maksa, Mama yang akan menghadap ke dosenmu yang sok-sokan mendukung itu. Mama yakin dia nggak begitu paham dengan apa yang akan diperjuangkan,” ancam Wiwid berharap Gio akan mencegah menemui dosennya, lalu mengurungkan niatnya berdemo.
Namun anaknya seperti tak mendengar. Gio bergegas keluar tanpa pedulikan teriakan mamanya. Setelah memasang helm, ia langsung melajukan sepeda motornya. Wiwid hanya mengiringi kepergian Gio dengan tatapan sedih disertai doa-doa selayaknya seorang ibu melepas putranya pergi.
*
Wiwid melangkahkan kakinya dengan mantap ke arah gedung Fakultas Teknik. Ia mencari-cari ruang dosen di jurusan Teknik Informatika, jurusan yang Gio ambil. Saat melewati sekelompok mahasiswa yang tengah duduk-duduk di bangku taman, seorang gadis berkulit putih berdandan mirip gadis Korea menghampiri dirinya. Mata gadis berambut panjang lurus yang sengaja disemir cokelat itu menyipit seakan memastikan apa yang dilihatnya tidak keliru.
“Tante? Ngapain ke sini? Cari Gio?"
Sapaan bernada heran itu mengejutkan Wiwid. Namun ia berubah cerah saat tahu siapa yang menyapanya.