Wiwid tergesa-gesa menuju gerbang kampus. Napasnya sedikit ngos-ngosan. Ini hari terakhir Ospek dan dia bertekad untuk tidak memberikan kesempatan kepada senior-seniornya yang dianggap sok iya itu untuk menghukumnya karena terlambat, seperti hari-hari kemarin. Sialnya, dia tiba di lapangan yang posisinya di depan Gedung B saat seluruh mahasiswa baru sudah berdiri rapi dalam barisan.
"Wedus! Telat lagi, nih!" makinya dalam hati sambil menyunggingkan senyum kecut kepada beberapa senior yang sudah memasang tampang galak.
“Hei, kamu!” Salah satu dari senior cewek menunjuk ke arahnya, tersenyum sinis.
“Saya?” tanya Wiwid dengan wajah polos. Konyolnya, dia menoleh ke belakang, tidak ada siapa pun di sana.
“Iya, kamu! Tak usah sok cool. Ayo, maju sini!”
Wiwid memenuhi panggilan seniornya yang terlihat lebih pendek dari dirinya. Cewek di depannya itu harus mengangkat kepala untuk berbicara dan melihat matanya.
“Turunkan posisimu!” bentaknya.
“Hah?” Wiwid bingung, tidak sepenuhnya paham instruksi tersebut.
“Cepat, lakukan! Siapa bilang kamu boleh membuatku mengangkat kepala?” Wiwid ternganga, sementara beberapa peserta Ospek berbisik sambil menahan tawa disertai senyuman senior mereka yang lain.
“Kamu, nggak dengar perintahku?”
“I-ini, maksudnya bagaimana? Saya nggak paham, Kak.”
“Dasar! Memahami perintah sederhana saja, kamu nggak mampu. Bagaimana bisa berstatus mahasiswa?” Gadis itu terus mencicit, sambil bertolak pinggang dan memandang berkeliling, ke arah maba yang berada di dalam barisan.
Wiwid merasa gadis itu menyimpan sentimen pribadi terhadapnya sehingga selalu diincar setiap melakukan kesalahan. Jika ada yang hendak mengambil alih, pasti dia menawarkan diri untuk memberi sanksi.
Meskipun merasa konyol, Wiwid menekuk lututnya agar dia sejajar dengan lawan bicaranya. Beberapa orang menutup mulut dengan tangan, menahan tawa.
“Sudah berapa lama kamu mengikuti orientasi?”
“Seminggu, Kak!”
“Lalu kenapa, kamu selalu terlambat? Kamu bahkan belum menerima inaugurasi sebagai mahasiswa, tidak memiliki kedisiplinan sedikit pun! Setiap hari kamu telat, mana mungkin kamu bisa dianugerahi agent of change?” semburnya tanpa henti.
Wiwid mendelik, seperti ingin melawan. Namun niat tersebut terpaksa diurungkan karena hampir semua perkataannya benar.
Sementara gadis di depannya terus meracau, tidak semua kalimatnya mampu dicerna oleh Wiwid sebab lututnya mulai bergetar demi mempertahankan posisinya yang berlangsung selama hampir 15 menit.
“Segitu doang?” tanya lawan bicara Wiwid, seperti sengaja menyiksanya dengan membiarkan lutut gadis itu menggigil.
"Boleh lepas sepatu?" tanya Wiwid terbata-bata. Sementara matanya tak berani menatap seniornya yang semakin garang.
"Apa katamu? Buat apa lepas sepatu? Kamu sengaja menantang kami dengan tidak mentaati peraturan?" sembur gadis galak itu dengan bola mata yang hampir keluar.
"Saya pegal. Maksudku, biar badanku nggak terlalu membungkuk dan kita sejajar." Wiwid berusaha menjelaskan sambil nyengir.
Bukanya disetujui, seniornya malah semakin beringas.
"Enak ya, berani-beraninya ngatur senior. Kamu mau kusuruh lari keliling kampus, hah?"
Wiwid mengangkat wajah, hendak menyalak tetapi keduluan lawan bicaranya yang mampu membaca pikirannya. Untungnya segerombolan peserta Ospek yang terlambat datang menyusul Wiwid disusul beberapa orang lagi di belakangnya.
“Sini semua, baris di depan! Tunjukkan nyali kalian untuk menerima hukuman, karena keahlian kalian yang selalu datang terlambat,” teriak salah satu senior pria.
Wiwid menegakkan badan, meluruskan lututnya yang hampir tidak mampu menahan beban.
“Hei! Siapa menyuruhmu tegak?”