Hampir setiap hari Wiwid berdebat dengan kedua orang tuanya. Semua terjadi setiap kali mereka menonton berita mengenai resesi ekonomi dan pergerakan mahasiswa yang dianggap mereka terang-terangan dan terlalu berbahaya.
“Kamu lihat itu, Wid. Mahasiswa semakin frontal melawan kebijakan pemerintah. Mereka tidak berpikir bahwa hal itu berbahaya bagi keselamatan mereka dan mengganggu ketertiban. Dekadensi moral mereka terlihat sangat jelas dari perbuatan mereka.” Ayahnya mengomentari berita sore di televisi yang memperlihatkan unjuk rasa di sebuah kampus.
“Mengapa Bapak menganggap apa yang mereka lakukan sebagai bentuk pelanggaran ketertiban?” Wiwid mengangkat sebelah alisnya sambil memperhatikan sang ayah yang menyeruput kopi tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.
“Coba kau pikir, saat mereka meneriakkan pendapat mereka dengan menggunakan megaphone seperti itu, tentu akan terdengar ke seluruh penjuru kampus. Lalu, disambut sorak sorai mahasiswa lain, apa nggak mengganggu rekan kalian yang belajar di kelas?” sergah pria bertubuh tambun tersebut.
“Ya wajar saja jika mereka pakai megaphone. Agar mahasiswa lain tergerak hatinya untuk ikut turun andil menyuarakan pendapat. Agar mereka melek dan tidak menulikan telinga pada keadaan saat ini.”
Ibunya yang tiba-tiba muncul sambil membawa sepiring pisang goreng untuk menemani kopi ayahnya langsung bereaksi mendengar kalimat anak perempuannya yang terdengar bersemangat.
“Jangan berpikir untuk ikut terjun ke dalam aksi konyol tersebut. Kamu tahu, tindakan kalian itu tidak akan membawakan hasil. Mereka itu seharusnya sadar, dengan bertingkah semacam itu sudah menyusahkan orang tua mereka.” Perempuan yang mulai beruban itu meletakkan bokong di samping sang suami.
“Tidak semua mahasiswa tersebut dari kalangan orang mampu. Bisa jadi orang tuanya di kampung bekerja keras, banting tulang setengah mati untuk bisa mengirim uang bulanan mereka tepat waktu. Tapi apa yang mereka perbuat? Bukannya belajar lebih giat, malah membuang waktu. Itu namanya tidak tahu diri,” sambungnya sambil terus mengunyah. Berita di televisi sudah berganti topik lain, tetapi mereka terus beradu argumen.
“Jika semua orang menganggap apa yang kami lakukan mengganggu, lalu apa kami harus diam saja melihat hal yang buruk terjadi pada bangsa kita?”
“Hal buruk bagaimana, maksudmu?” balas ayahnya, memandang tajam ke arahnya.
Wiwid terdiam, menahan diri untuk mengeluarkan kegelisahannya yang sudah siap dilontarkan.
“Nona! Jangan sampai kamu melakukan hal-hal yang Bapak anggap di luar batas! Ingat, Bapak tidak bisa melindungimu selama 24 jam saat kamu berada di luar sana. Apalagi jika tindakanmu itu dapat mendiskreditkan Bapak!” sembur bapaknya tegas. Suaranya penuh penekanan hingga Wiwid merasa sedikit gentar untuk melakukan perlawanan.
*
Diam-diam Wiwid melakukan hal yang sangat dibenci kedua orang tuanya. Dia merasa harus ikut bergerak bersama rekan-rekannya yang lain, meskipun tidak terlihat. Ada banyak hal yang bisa dia lakukan tanpa harus ikut turun aksi.
Hari ini dia memiliki kesempatan untuk melakukan orasi di depan kawan-kawannya di aula kampus. Dengan semangat membara dia mengajak seluruh warga kampus untuk terus bergerilya, menentang kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil.
“Saudaraku, warga kampus biru yang tercinta, Bersediakah kalian untuk terus mengobarkan semangat demi kemakmuran bangsa kita?” teriaknya dengan penuh semangat dari atas podium sambil memegang pelantang suara.
“Bersedia!” sahut para mahasiswa yang berada di depannya. Mereka duduk bersila di depan podium mengenakan jas almamater dan memakai bandana sebagai ikat kepala.
Teriakan mereka membuat Wiwid merasa berada di dalam dimensi yang lain.
“Bersediakah kalian memperjuangkan hak-hak kaum margin yang tertindas?” lanjutnya.