“Wid, Ibu lihat belakangan ini kamu sering pulang terlambat dengan berbagai alasan,” tanya ibunya sambil menyendokkan nasi untuk ayahnya, ketika mereka sedang makan bersama.
Wiwid mengalihkan pandangan kepada sang ayah yang menuangkan air minum ke gelasnya. Tangannya yang memegang sendok sayur mengambang tepat di atas mangkuk besar berisi sayur bayam dan jagung muda kesukaannya.
“A-a, iya, Bu. Ini kan, sudah dekat UTS, jadi mm … Wiwid menyelesaikan beberapa makalah yang harus segera dikumpulkan, iya,” jawabnya, sedikit ragu. Wajahnya terasa kembali hangat, sebab dia tidak terbiasa berbohong.
“Benar? Makalah?” Ayahnya memastikan. Kali ini menatap tajam kedua manik mata Wiwid.
“I-iya, Pak, memangnya apa lag?” jawabnya seraya menundukkan kepala.
Bapak melipat kedua tangannya di atas meja, menandakan dia sedang serius. Semua orang menghentikan kegiatan makannya, termasuk Arina dan Bagus yang duduk di sebelah ibu dan dirinya.
“Jangan sampai melewati batasan yang Bapak berikan. Biaya kuliahmu itu mahal, belajar saja yang rajin dan jangan menciptakan masalah baru di dalam keluarga kita.”
Tenggorokan Wiwid terasa tercekat.
“Jangan ikut-ikutan mahasiswa lainnya. Bapak yakin, mereka tidak tahu apa tujuan mereka yang sebenarnya. Mereka itu tidak akan mampu menciptakan perubahan hanya dengan berdemonstrasi. Itu pekerjaan bodoh dan sia-sia,” lanjutnya, kali ini mengurai kedua tangannya dan mulai menikmati hidangan di atas meja.
Selera makan Wiwid lenyap seketika. Meskipun dia menyuapkan makanan tersebut, dia tidak mampu menikmatinya lagi.
“Ingat itu, Wid. Jangan sampai Bapak dan Ibu mengulang-ulang kalimat yang sama, yang membuatmu bosan.” Ibunya mempertegas.
“Ya, itu kan tugas mahasiswa, Bu, tugas kami menyampaikan keluhan rakyat yang hampir tidak pernah didengar pemerintah. Wiwid juga seharusnya melakukan apa yang sudah mereka mulai, sebab tanggung jawab kami ….”
“Wes, to! Nggak usah mencoba ngomongin niatmu untuk ikut-ikutan aksi mereka dengan berbagai alasan. Jika kamu pulang terlambat karena tugas kuliah, Bapak nggak masalah. tapi jika kamu mulai tidak bisa diatur, jangan salahkan Bapak jika nanti harus mengambil tindakan. Mahasiswa itu banyak, Wid, bukan kamu saja. Jangan kamu merasa bahwa membawa perubahan itu menjadi tanggung jawabmu sendirian,” potong ayahnya.
Jika sudah demikian, Wiwid tidak akan pernah menang. Bapak dan ibunya sudah menyiapkan jawaban yang pasti dapat membungkamnya seketika. Jalan terbaik untuk menghindari perdebatan yang menjengkelkan adalah diam.
Mereka meneruskan makan sambil menceritakan hal-hal yang sudah terjadi sepanjang hari. Wiwid tidak termasuk di dalamnya. Sejak dia menjadi aktivis kampus, dia menyimpan semua hal yang dia alami seorang diri di rumah ini.
*
Penglihatan, pendengaran, dan pengalaman Wiwid mengajarkan banyak hal. Di setiap kesempatan berkumpul aktivis senior, mereka selalu saling mengingatkan agar selalu berhati-hati agar perjuangan mereka tidak sia-sia. Semua orang wajib menyadari bahaya yang mengintai kapan saja, karena mahasiswa dianggap sebagai ekstremis kiri.
“Latih insting kalian, jangan mengabaikan hal-hal kecil yang kalian anggap remeh agar kalian tidak terlena dalam euforia.” Demikian pesan Mas Jabo–seniornya–di penghujung setiap pertemuan yang mereka gelar.
Sore itu, Wiwid sedang berada di sebuah rumah sewa yang mereka jadikan sebagai basecamp. Lokasinya tidak terlalu jauh dari kampus dan terletak di sebuah gang yang cukup padat penduduknya.
Perasaannya sedikit gelisah. Seharusnya pertemuan sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu, tetapi malah molor sekian lama. Hanya ada dirinya dan tiga rekan pria seangkatannya di tempat itu. Dari setengah jam, berubah menjadi satu dan dua jam.
Wiwid semakin gelisah karena dia harus pulang tepat waktu, sebab dia tidak lagi mampu mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan kedua orang tuanya saat tiba di rumah. Gadis itu meyakini jika mereka berdua semakin curiga dengan sikap dan gerak-geriknya yang tidak seperti biasa.
“Jak, kayaknya aku harus pulang, deh. Kita semua bisa kena masalah jika aku terus mengarang alasan pada orang tuaku, setiap pulang terlambat.” Wiwid menghela napas saat mengutarakan keinginannya pada Rozak.
“Memangnya kenapa,Wid? Orang tuamu nggak suka kalau kamu aktif dalam kegiatan kampus?”
“Mm, masalahnya orang tuaku ….” Wiwid hampir saja keceplosan. Begitu sadar, dia menggantung kalimatnya dan mendengar ketukan di pintu depan yang tertutup.