Wiwid duduk di meja makan di dalam gedung itu yang lokasinya berhadapan dengan dapur. Tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk bersantai jika kondisi yang dialaminya tidak seperti ini. Seporsi nasi Padang dengan lauk rendang daging, telur dadar, dan daun ubi rebus tersaji di depannya, lengkap dengan es teh dalam sebuah gelas berukuran jumbo.
“Makanlah dulu, setelah ini kami akan mengantarmu kembali,” perintah seorang pria berbadan tegap yang duduk berhadapan dengannya sambil menikmati segelas kopi.
Wiwid mengangguk ragu. Rasa lapar, takut,tidak nyaman, dan kecemasan berbaur menjadi satu di dalam benaknya. Sesekali dia mencuri pandang ke arah lelaki itu.
“Makan saja, kamu butuh energi. Kamu tidak akan mati karena memakan makanan ini!” perintahnya lebih tegas yang disertai hentakan sepatu but dari bawah meja.
Wiwid yang berdebar ketakutan segera menyendokkan nasi ke mulut dan menelan tanpa mengunyah dan menikmatinya dengan baik. Beribu pertanyaan mengenai rekan-rekannya bermunculan di dalam benak tanpa mampu dilontarkan untuk menemukan sebuah jawaban.
Dua orang berbadan tegap lainnya datang bergabung ke tempat itu sambil membawa surat yang harus ditandatangani oleh Wiwid. Isinya ternyata surat pernyataan untuk tidak melakukan perbuatan yang dianggap melanggar undang-undang subversif dan mengganggu ketertiban umum.
“Kami harus kembali menutup matamu. Tapi sebelumnya, tolong jangan menyebarkan rumor tentang keadaan kalian selama berada di sini, dan jangan menelepon teman-temanmu sesama aktivis, baik itu setelah kamu dalam perjalanan pulang, maupun ketika sudah berada di rumah.”
Wiwid hanya menganggukkan kepala, tidak sepenuhnya mendengarkan apa yang mereka katakan, sebab salah satu dari pria itu langsung menjejalkan uang ke tangannya disusul menutup kepalanya dengan topeng seibou dengan lubang yang menghadap ke belakang. Gadis itu juga diborgol sebelum dibawa keluar dan memasuki mobil yang akan membawanya pergi.
Selama perjalanan, pikiran Wiwid terus berkecamuk hingga napasnya terasa sedikit sesak. Kali ini dia sibuk mencari jawaban yang paling masuk akal untuk meredakan amarah kedua orang tuanya setelah menghilang tanpa kabar. Dia yakin mereka sudah mengetahui apa yang telah terjadi kepadanya.
Setelah berkendara selama beberapa lama, pria yang duduk di sampingnya membuka penutup kepala Wiwid dan membuka borgol di tangannya yang masih menggenggam uang yang mereka jejalkan tadi. Pandangan mata dan ketidakmampuannya berkonsentrasi membuat Wiwid tidak mampu mengenali lokasi yang mereka lalui.
“Kami akan menurunkanmu di depan Polsek Wonokromo, gunakan uang itu untuk pulang naik bus,” jelasnya. Wiwid hanya mengangguk sambil mengusap bekas borgol di tangannya.
Tepat di depan polsek, Wiwid diturunkan. Mobil berjenis kijang bercat hitam dan berkaca gelap itu langsung menjauh begitu dia keluar. Gadis itu memandangi lembaran uang yang sedikit lusuh di genggamannya sambil tersenyum kecut. Pandangannya menyapu sekeliling sambil menghirup udara siang yang mulai terkontaminasi asap kendaraan umum. Erangan mesin berbagai jenis angkot yang berasal dari terminal Joyoboyo yang tidak terlalu jauh dari tempat itu telah memenuhi gendang telinganya.
Apa yang harus kulakukan? Bagaimana keadaan Bapak dan Ibu? Wiwid tidak mampu meredakan keresahan. Dalam kegelisahannya, tanpa sadar dia masuk ke terminal dan bengong di antara lalu lalang sopir dan kenek angkot, serta ratusan calon penumpang yang hilir mudik dari berbagai arah.