Seminggu berada di rumah menciptakan rasa jenuh yang luar biasa bagi Wiwid. Oleh sebab itu, dia merasa begitu bahagia saat diizinkan kembali ke kampus, meskipun harus diantar jemput oleh ayahnya di tengah waktunya berdinas.
Rasa lega tersebut tidak berlangsung lama sebab Wiwid mulai frustasi dengan keadaan tersebut, salah satu alasannya adalah dia takut rekan aktivisnya akan berpikir bahwa Wiwid sedang melakukan pengkhianatan. Oleh karena itu, dia mencari cara untuk bisa berkomunikasi dan melakukan koordinasi dengan mereka kembali.
Setelah dua pekan belajar di kampus, Wiwid memutuskan untuk menghubungi Arya di Jakarta. Gadis itu merasa perlu untuk membicarakan masalah ini. Untuk itu, dia rela menyisihkan uang agar bisa melakukan panggilan interlokal yang berbiaya mahal. Sebenarnya, dia bisa saja meminta Arya untuk menelepon ke rumah, tetapi hal tersebut menjadi mustahil jika yang mereka bicarakan tentang pergerakan.
“Jadi, menurutmu bagaimana, Mas? Tidak mungkin aku berhenti sampai di sini. Tapi aku juga kesulitan menghubungi mereka. Sepertinya … langkahku jadi sangat terbatas sejak kejadian itu. Walaupun aku bukan orang penting, tetapi aku merasa wajib mengambil bagian. Aku tidak bisa menjadi orang skeptis yang hanya memikirkan masa depanku sendiri.”
“Hm … begini saja, Biar aku yang menghubungi Jabo dan menjelaskan keadaanmu saat ini.”
“Tapi, apa nggak menjadi masalah, jika mereka tahu bahwa orang tuaku tentara aktif?”
“Jangan dipikirkan, kamu bisa memberikan sumbangsih berupa ide atau hal lain yang tak kalah bermanfaat, tanpa harus mempertaruhkan sesuatu.”
Gadis itu merasa lega setelah berunding dengan Arya. Karena terbatasnya keuangan, mereka mengakhiri pembicaraan dan memilih “bicara” lebih lanjut via email dan mIRC.
Mempertimbangakan apa yang baru dialami Wiwid dan yang lainnya, mereka memutuskan untuk tetap berkomunikasi melalui forum tersebut. Demikian juga dengan situasi yang dihadapi Wiwid. Mereka sepakat agar gadis itu tiarap untuk sementara waktu. Arya memberikan kabar bahwa aliansi mahasiswa akan melakukan demonstrasi besar-besaran pada 20 Mei 1998 di Gedung Kura-kura jika pemerintah tidak juga mampu mengambil tindakan nyata untuk mengatasi krisis. Untuk itu, Arya meminta mereka untuk mempersiapkan diri dan datang pada tanggal 17 Mei, tiga hari sebelum aksi dilaksanakan. Dia tidak meminta Wiwid untuk ikut bersama mereka, tetapi gadis itu menyanggupi untuk bergabung dalam aksi.
Meroketnya harga kebutuhan akibat kenaikan BBM, PHK massal juga terjadi di setiap penjuru kota, menghilangnya sembako, turut menambah penderitaan masyarakat. Hal tersebut meningkatkan gelombang protes di berbagai wilayah. Kaum buruh yang mengeluhkan pemecatan tanpa pesangon dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan yang baru, petani yang menjerit karena hasil bumi tidak menutup biaya tanam dan tenaga, para pedagang yang terus merugi karena turunnya daya beli menjadikan mereka berada di belakang mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Krisis ekonomi tampak nyata telah menciptakan kerapuhan fundamental yang terus merambat ke semua sektor. Bahkan mahasiswa turut merasakan dampaknya secara langsung, terutama yang sedang mengerjakan skripsi mengeluhkan melonjaknya harga kertas HVS. Jika semula mereka bisa membeli seharga Rp. 12.500-15.000 per rim, kali ini mereka harus merogoh kocek lebih dalam. Hal-hal tersebut bahkan telah berlangsung sejak awal tahun 1998.
Karena kondisi ekonomi yang dianggap semakin menyulitkan masyarakat, protes tidak hanya muncul dari kalangan mahasiswa saja. Bersatunya Amien Rais, Gus Dur dan Megawati seakan membawa angin segar dan harapan baru agar kondisi karut marut negeri ini bisa segera dibenahi. Dukungan terus mengalir untuk mendesak pemerintah mengambil langkah pasti dan nyata. Para dosen di berbagai kampus turut memberikan restu kepada mahasiswanya untuk turut turun ke jalan dan melakukan protes.
Rasa patriotisme yang berkobar membuat Wiwid diam-diam mengurus cuti tanpa sepengetahuan keluarganya. Dia tetap berangkat ke kampus dan pulang tepat waktu untuk menghindari kecurigaan bapak dan ibunya.
Meningkatnya aksi mahasiswa dan buruh menyebabkan aparat harus ikut bekerja keras untuk menjaga suasana tetap kondusif. Demikian juga dengan ayah Wiwid, sehingga dia merasa lebih leluasa.
****