Naik truk yang berisi sapi. Entah beruntung mengingat sulitnya transportasi yang tersedia, ataukah sial karena hewan ternak yang dagingnya sangat digemari tersebut berdampingan dengan Jabo dan Widia. Tidak ada jarak yang memisahkan mereka, kecuali dua batang bambu yang dipasang melintang di samping tiga ekor sapi yang membelakangi muda mudi tersebut. Untungnya, sopir dan kenek truk tersebut masih berbaik hati dengan meminjamkan selembar terpal sebagai alas selama perjalanan. Tidak terlalu lebar, tetapi bisa dipakai duduk di dalam kendaraan bak terbuka itu. Harapan keduanya hanya satu, tidak ada hujan turun sepanjang malam.
Tamparan angin malam terasa dingin menusuk tulang, belum lagi aroma kotoran bercampur urin dari ketiga hewan tersebut menambah nuansa dan pengalaman yang mungkin tidak akan pernah mereka lupakan sepanjang hayat.
“Capek, Wid?’ tanya Jabo yang berdiri tegak di sampingnya. Kedua tangannya memegang pinggiran bak truk erat-erat.
“Lumayan. Ngantuk dan lelah sekali, tubuhku terasa remuk saat ini,” balasnya.
Jabo memandang wajah manis gadis di sampingnya. Entah apa yang dia pikirkan saat itu.
“Berjanjilah untuk tetap hidup dan dalam keadaan sehat.” Pemuda itu menerawang, menatap ke depan, ke arah jalan yang mereka tinggalkan jauh di belakang.
Ucapan Jabo terdengar ganjil dan tidak enak di telinga Wiwid.
“Kok, seperti itu, Bung?” Wiwid menatapnya penuh tanya. Jabo mengeraskan rahang, terlihat gusar.
“Apa yang terjadi kepada Moses Gatutkaca, bisa terjadi kepada siapa saja. Aparat semakin beringas saat ini. Jangan sampai salah satu dari kita yang menjadi martir berikutnya. Kamu sudah pernah merasakannya, bukan?’
Wiwid mengangguk.
“Siapa yang tahu, apa yang akan menimpa kita besok atau lusa. Tidak semua pendemo memiliki visi yang sama, bisa jadi salah satu dari mereka adalah penyusup yang akan berubah menjadi provokator dalam sekejap, tanpa kita sadari.”
Wiwid kembali mengangguk. Di kepalanya telah tersusun banyak rencana saat mereka tiba nanti.
“Kamu langsung ke tempat kos Arya setelah ini?” tanya Jabo lagi, mencoba memecah keadaan setelah keduanya terdiam beberapa saat.
“Aku ikut Bung Jabo saja dulu ke basecamp. Mungkin sore, yang pasti aku akan mengabari dia lebih dulu lewat telepon.”