Perasaan Wiwid agak resah melihat begitu banyaknya aparat berpakaian lengkap di setiap titik yang mengenakan helm, menenteng tameng, dan pentungan karet. Dia bahkan sempat melihat gerakan beberapa sniper yang berada di atas fly over Grogol dan di atas salah satu gedung kampus yang sedang direnovasi. Bukan hal itu yang membuat hatinya tidak nyaman, melainkan pemandangan ganjil di hadapannya adalah, mereka dilengkapi SS1 yang merupakan senapan otomatis, dalam sekali sentak akan memuntahkan puluhan peluru tajam. Sebagai anak tentara, dia tahu persis bahwa mereka adalah penembak jitu yang sangat akurat ketika membidik mangsa.
"Haruskah pemerintah menurunkan pasukan khusus hanya untuk mengamankan mahasiswa dan sipil yang tidak bersenjata?" Dalam gundahnya, Wiwid bertanya dalam hati.
Kecemasan yang meliputi hatinya dia simpan rapi dengan mengabaikan keringat dingin yang keluar dari setiap pori-pori kulitnya.
“Wid, kamu sakit? Tanganmu terasa dingin dan lembap,” ujar Paquita yang mempererat genggamannya pada telapak tangan Wiwid.
Wiwid menggeleng, gugup.
“Tuhan bersama kita, mari kita singkirkan rasa takut dan keraguan yang mencengkeram jiwa dan raga kita.” Wiwid kembali mengangguk, mengusir segala gundah yang bercokol di hatinya. Kakinya mengikuti pergerakan massa di depannya yang hampir mencapai kantor Walikota Jakarta Barat. Hati gadis itu kembali terasa hangat saat telinga dan pikirannya kembali fokus mendengarkan lagu-lagu perjuangan, hingga tanpa dia sadari bibirnya ikut mengumandangkan lagu-lagu tersebut bersama yang lainnya.
Buruh tani, mahasiswa, kaum miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Bersatu tekat dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa orba
Marilah kawan mari kita kabarkan
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu, tentang pembebasan