Paquita menangkup mulut, agar suara jeritannya tidak keluar ketika menyaksikan pria berbadan tegap itu mengangkat tubuh Wiwid ke pundaknya dan segera menyelinap, menjauh dari telepon umum. Sementara satu orang lagi yang diduga temannya, menodongkan pistol ke arah Ronald dan Paquita. Ronald yang terkejut melihat reaksi kekasihnya, lantas segera mengikuti arah pandangan mata perempuan di sampingnya. Tidak ada lagi Wiwid atau siapa pun di sekitar box telepon itu.
“Wiwid kemana?” tanyanya bingung.
“Se-seseorang, eh, dua orang membawanya, ke-ke sana!” Paquita tiba-tiba menggigil. Dia ambruk ke tanah begitu menyelesaikan kalimatnya. Tangannya yang menunjuk ke mana pria yang dilihatnya menghilang ikut lunglai.
“Maksudmu?” Ronald yang panik membantu Paquita berdiri dan membawanya menjauh dari situ.
“Mereka membawa Wiwid!” Air mata Paquita luruh. Ronald tetap menopang tubuhnya yang limbung. Dia tahu gadis di sampingnya tersebut sedang terguncang. Karena itu, dia membawanya ke tepi selasar dan duduk di sana untuk menenangkannya.
“Apa yang harus kita lakukan?” isak Paquita.
“Tenang dulu, ceritakan dengan jelas apa yang kamu lihat barusan,” pinta Ronald.
Paquita menjelaskan apa yang sempat dia saksikan sebelum Wiwid dan pria berpostur tinggi itu menghilang, tepat saat Arya tiba dan mendekati keduanya di selasar.
“Kenapa, Ta? Kamu terluka? Apa yang sakit?” berondongnya sambil memeriksa kondisi Paquita.
Begitu melihat Arya, tangis Paquita semakin kencang. Dia merasa gagal menjaga kepercayaan Arya. Dengan penuh sedu sedan, gadis berwajah oriental tersebut menceritakan runutan kejadian yang mereka alami sebelum Wiwid menghilang.
Arya tertegun, perasaan cemas segera menyergap jiwa dan raganya. Dia tidak sempat bertemu dengan gadis itu. Pembicaraan mereka hanya sekali, itu juga lewat telepon. Lebih sedihnya lagi, pager-nya terjatuh saat dia berlarian bersama aktivis lainnya untuk menghindari kejaran aparat. Arya menyisir rambut gondrongnya dengan seluruh jemari di kedua tangan, kemudian mengurut pelipisnya.
“Kamu sempat lihat, nggak, wajah pria yang membawanya pergi?” tanyanya pada Paquita, kalut. Yang ditanya hanya menggeleng, tenggelam dalam tangis karena rasa bersalah.
Di pikiran Arya terbersit kemungkinan buruk. Perasaannya jelas mengatakan bahwa orang-orang yang membawa Wiwid bukanlah orang sembarangan. Bagi aktivis, diciduk saat sedang melakukan sesuatu yang dianggap menentang pemerintah adalah sebuah risiko yang harus mereka hadapi, siap ataupun tidak. Namun, bagaimanapun juga tidak akan ada yang sanggup menghadapi faktanya. Jika berada di kota asalnya, Arya bisa melakukan koordinasi dengan semua rekan yang dia kenal, hampir dari setiap kampus. Setidaknya pasti ada yang mengenal kekasihnya tersebut, walau tidak sebaik mereka mengenali dirinya. Perasaan itu sangat mengganggunya, hingga Arya merasa tidak berdaya. Rasanya tidak bijak jika menyalahkan Ronald dan Paquita yang saat itu bersama Wiwid.
Ronald melirik arlojinya.Hampir pukul 23.00. Kampus tampak gelap, beberapa mahasiswa masih berlalu lalang. Sebagian dari mereka memutuskan untuk pulang. Suara tembakan sudah berhenti, susana tampak mencekam tetapi mulai kondusif.
“Kita harus pulang, soal Wiwid, biar besok aku cari tahu siapa yang membawanya.” Arya memutuskan apa yang harus mereka lakukan.
“Ya, sebaiknya kita pulang saja, aku antar kamu ya, Ta?” tawarnya pada Ronald.
“Mm … sebaiknya Paquita pulang denganku saja, kami searah, kan? Biar aku yang antar. Toh, aku melewati rumahnya. Ada banyak peristiwa yang terjadi hari ini, semua orang sudah lelah, sebaiknya kita menghemat tenaga untuk melakukan sesuatu yang lebih penting besok.” Arya memberi usul.
Ronald dan Paquita menyetujui usulan Arya. Mereka berpisah di tempat parkir untuk pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan yang tidak menentu.