Agent of Change

Rina F Ryanie
Chapter #11

Tragedi itu Membuat Paquita Hancur

Jakarta, Mei 1998. 

Langit Jakarta sudah benar-benar pekat. Gumpalan-gumpalan awan hitam yang sedari siang menghiasi angkasa, kini tak terlihat lagi seakan tertutup tirai kelam. Hanya aroma bara bekas kebakaran yang masih mengeluarkan sisa kepulannya yang tercium. Lebih tepatnya sengaja dibakar oleh massa yang semakin beringas, entah dari mana kemunculannya. Suasana hiruk-pikuk kerusuhan menyisakan kerusakan di mana-mana. Beberapa mall dan toko-toko dibakar lalu seluruh isinya dijarah oleh orang-orang tersebut. Ratusan polisi masih diturunkan dari beberapa truk polisi. Mereka dikerahkan untuk menghalau dan menangkap para perusuh, juga para demonstran. Yang diburu berlarian kocar-kacir mencari persembunyian, sementara yang tertangkap, tanpa ampun lagi kena hajaran petugas. Bukan saja pentungan dan tendangan sepatu dinas lapanan, tetapi mereka yang berusaha melawan dianiaya habis-habisan bahkan tak sedikit yang terkena peluru panas.

Sementara itu di sebuah ruang kelas yang gelap, beberapa mahasiswa yang tengah berlindung dari pencarian petugas, mulai bergerak keluar dari persembunyian. Sebagian mengendap-endap untuk mengamati suasana di sekitar kampus. Setelah dirasa aman, mereka pun bergerak dengan hati-hati, takut masih diawasi petugas. Satu per satu, mereka berpencar untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing. Mereka tak bisa berlama-lama sembunyi karena perut tak bisa diajak kompromi. Bukan kalah berjuang, tetapi karena haus, lapar, dan lelah yang membuat mereka menyerah untuk pulang.

Arya menengok arloji di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan waktu hampir tengah malam. Paquita refleks mengikuti gerakan Arya dengan melirik jam tangan Benetton di lengannya. Lantas, Arya menarik tangan Paquita untuk segera meninggalkan tempat itu. beberapa polisi masih terlihat berpatroli di hampir ruas jalan dan pertokoan. Arya, Paquita, dan teman-temannya yang baru keluar persembunyian, sesungguhnya masih tak paham apa yang tengah terjadi di sekitar mereka. Mereka hanya bisa menyaksikan betapa porak-porandanya halaman kampus, jalan raya yang penuh sampah dan bekas ban mobil terbakar.

Arya menuntun lengan Paquita dengan erat untuk bisa keluar dari lokasi. Arya harus bertanggung jawab atas keselamatan gadis Tionghoa itu setelah Ronald pergi duluan dan menitipkan pacarnya itu kepadanya. Irwan dan Budi berjalan lebih dulu untuk mencari jalan yang sekiranya aman dari pengawasan aparat. Tatapan Arya dan Paquita tertuju pada isyarat dari teman-temannya itu untuk mengikuti mereka. Bahkan, Arya dan Paquita kaget saat Irwan melempar jaket kupluknya ke arah Paquita dengan isyarat segera dipakai. Tanpa memahami maksudnya, Arya membelitkan jaket itu di leher sampai kepala, untuk menutupi muka Paquita.

“Ar, aku baru saja menguping perbincangan massa yang nggak tahu dari mana asalnya, mereka akan nyerang orang Cina. Mereka sudah menjarah toko-toko milik Tionghoa, dan perempuan-perempuannya akan diperkosa!” bisik Budi dengan wajah panik.

“Betul! Makanya aku pinjamkan jaketku sama Paquita. Dia, kan, Cina!” imbuh Irwan tak kalah tegang. “Cepatlah kamu antar Paquita pulang! Dia sudah nggak aman ikut kita!”

 Mereka bergegas menuju arah Slipi, tempat kediaman keluarga Paquita. Tepat di box telepon umum, Paquita sengaja mampir untuk menghubungi keluarganya, karena dari telepon seluler miliknya tak dapat sinyal. Namun, setelah beberapa kali memencet tuts angka di pesawat telepon, ia tampak kecewa. 

“Telepon rumah nggak nyambung! Handphone Papa juga sama. Bahkan operator pesawat pager Koko Han pun nggak beroperasi,” keluh gadis sipit yang masih menyembunyikan wajahnya di balik jaket milik Irwan itu disertai kecemasan.

Lihat selengkapnya